Jika bukan karena photo yang aku lihat di sebuah majalah,
rasanya malas betul pergi jauh-jauh ke tempat ini. Sendirian pulak.
Namun, awan putih dengan langit biru, yang malatari bebatuan berwarna keperakan itu, rasanya memanggil-manggil dengan derasnya. Dengan berbekal wejangan dari seorang teman, keril dan segala isinya, lengkap dipanggul. Naik turun antara kereta api ekonomi dan angkutan umum yang penuh sesak dengan orang-orang yang lebih membutuhkan, sebetulnya, ketimbang saya yang hanya memuaskan hasrat tersendiri.
Namun, awan putih dengan langit biru, yang malatari bebatuan berwarna keperakan itu, rasanya memanggil-manggil dengan derasnya. Dengan berbekal wejangan dari seorang teman, keril dan segala isinya, lengkap dipanggul. Naik turun antara kereta api ekonomi dan angkutan umum yang penuh sesak dengan orang-orang yang lebih membutuhkan, sebetulnya, ketimbang saya yang hanya memuaskan hasrat tersendiri.
Sore merembang dengan cerahnya. Lembayung belum lagi muncul di ujung
cakrawala sebelah barat. Dingin menyergap bersama hembusan angin yang lambat
menerpa. Meski sudah memakai jaket, rasanya dia menerobos bebas, membelai kulit
yang belum mandi dari kemarin sore. Pelataran luas, berisi warung-warung yang
berbanjar lurus. Cahaya remang dan dari lampu pijar lima watt, iringan musik
dangdut yang diputar dari VCD player bermerk “murahan”, mengalun keras. Adzan
Ashar baru saja lewat. Memanggil pohon dan hutan bersujud dan bertasbih. Juga
jiwa-jiwa penganut ajaran kenabian Muhammad SAW.
Saya sendirian. Menata kembali sleeping bag dan tenda kecil yang akan
saya gunakan nanti. Berkali-kali menimbang-nimbang, benda apa yang belum
lengkap, dan tidak menemukan apapun, sebagai jawabannya. Mata menatap ke arah
puncak. Hanya ada celah sedikit kelihatan. Diantara tulisan-tulisan besar yang
dibuat mirip dengan kata Hollywood di Amerika sana.
Saya sendirian
Merenenungi panggilan gunung
yang datang bertalu-talu
Saya masih muda
Hingga darah dan amarah seperti
kopi dan susu
Saya sendirian
Menelisik segala kemungkinan
pembuktian kesejatian
Saya masih muda
Tak tau mana yang pantas dan
tidak patut dituturkan
Jalanannya, penuh debu. Berkali-kali saya mencipratkan air pada slayer
kecil yang saya pakai untuk menutupi mulut dan hidung. Meneruskan langkah kecil
yang semakin keatas. Beberapa pendaki lain, berebut jalur dengan kelambatan
saya. Menerobos dengan cepat mengejar waktu yang terus berjalan tanpa bisa
menunda gelap. Sore begini, pendaki-pendaki gunung berebut naik untuk bisa
mengejar Pos Terakhir. Pelataran ideal untuk mendirikan tenda sebelum mencapai
puncak. Saya, masih terseok dengan pelan, diterpa debu-debu yang beterbangan
oleh hantaman sepatu-sepatu dan sandal-sandal gunung setengah berlari itu.
Magrib hampir datang. Tapi langit masih cerah membiru. Hembusan angin
semakin kuat menerjang. Menerbangkan beberapa dendelion kering yang dengan
manisnya melayang-layang mengikuti arah tak tentu. Arah angin. Mereka seperti
menari-nari ditiup angin sore itu. Membiarkan dirinya pasrah, tidak protes atau
memberontak kemana mereka akan tiba. Semuanya hanya soal waktu dan kesempatan.
Mereka begitu bijaksana.
Perut saya lapar. Berusaha untuk mencapai tempat aman untuk sekedar
meluruskan kaki dan membuka bekal. Selagi menyaksikan pergantian hari menuju
pekat. Malam selalu membawa misterinya sendiri. Dimanapun berada, malam seperti
menyimpan sebuah rahasia yang susah untuk ditebak. Bahkan dia sendiri, enggan
untuk memberitahu kepada siapapun. Dia adalah kegelapan sempurna, tanpa
pembanding. Pelindung maha dahsyat tanpa pernah menyakiti.
Rasanya, saya selalu terpukau oleh pergantian siang dan malam. Betapa ia
menyajikan beragam pertanyaan yang selalu tidak pernah terjawab, dan ingin
selalu ditanyakan. Apa guna gelap dalam malam? Apakah malam itu gelap, atau
gelap itu sendiri adalah malam? Entahlah.
“ Mampir, mas. Sudah akan magrib sebentar lagi. Nggak baik
magrib-magrib terus jalan,”
Sebuah suara berat memanggil dari tepi jalan setapak. Sebuah pelataran
kecil. Ada nyala api unggun kecil yang kelihatannya baru. Seorang lelaki
berkulit gelap, duduk menghadapi nyala api yang terombang ambing dimainkan
angin. Asap putih mengepul. Buta arah. Sesekali dia menerpa si lelaki itu,
namun nampaknya tidak digubris.
Saya menepi. Melepaskankan keril yang makin terasa berat. Meregangkan
badan dan ikut duduk didepannya. Setelah mengucapkan terima kasih dan basa basi
perkenalan standar.
“ Saya dari Bekasi, mas,” jawabku ketika dia menanyakan dari mana
asalku. Kemudian kami bercerita, masing-masing. Kopi panas menemani kami
sepanjang petang itu.
“ Aku sudah beberapa kali kesini, Mas Boim. Maklum, kan dekat. Rumahku nggak ada 2 jam dari sini. Naik motor juga jadi,” katanya dengan sopan. Khas sekali ke-jawaan yang dia bawa. Dalam omongannya, tidak pernah saya dengar sekalipun dia terkesan menyombongkan diri. Tuturnya halus. Pembawaannya kalem. Dari ceritanya, dia selalu kesini setiap tahun. Terutama pada bulan, bulan tertentu. Bukan pesugihan. Dia hanya senang berada diketinggian. Meski tidak membawa tenda, dan hanya tidur dibawah hamparan bintang dan langit. Beralas tikar kecil gulung dan berselimut sarung.
Namanya, mas Gatot. Dia seorang petani tembakau. Pada saat senggang,
dia biasa mendaki gunung. Seperti sekarang ini.
Obrolan kami, berlanjut, hingga larut malam. Saya yang tadinya akan
mengejar pos terakhir, menghentikan langkah dan bertekad menemaninya, yang juga
mendaki sendiri disini. Berbagi cerita dan berbagi kehangatan kopi yang
kemudian kami seduh terus menerus.
Menjelang subuh, saya memutuskan untuk bergerak ke puncak. Setelah sempat
tertidur, tanpa memakai tenda. Hanya fly sheet tipis yang dibentang sebagai
atap. Mas Gatot menolak untuk tidur disana. Katanya dia akan berjaga semalaman.
Namun, ketika saya bergerak, saya mendapatinya tidur, sambil duduk. Karena tidak
tega untuk membangunkannya, saya meneruskan naik.
Hari itu, tidak begitu banyak pendaki yang sampai ke puncak gunungi.
Hanya ada serombongan pemuda pemudi yang kemarin menyalip saya, dan beberapa tenda
di pos terakhir.
Hingga ketika saya memutuskan turun, saya tidak berjumpa dengan mas
Gatot. Entah dia turun sebelum kepuncak atau saya yang memang tidak
memperhatikan.
Bukankah,
pada setiap pertemuan, selalu
ada perpisahan
Meski
tidak pernah ada yang
betul-betul siap menjalaninya
Kita diciptakan untuk saling
bertatap dan kemudian berpaling
Kita diciptakan untuk saling
menyapa kemudian menggunjing
Kita diciptakan untuk saling
mengenal kemudian melupakan
Bukankah itu kodrat?
(bmkr/231013)
Comments
Post a Comment