Skip to main content

Lelaki : Cerita dari Gunung – Bagian 1



Jika bukan karena photo yang aku lihat di sebuah majalah, rasanya malas betul pergi jauh-jauh ke tempat ini. Sendirian pulak. 

Namun, awan putih dengan langit biru, yang malatari bebatuan berwarna keperakan itu, rasanya memanggil-manggil dengan derasnya. Dengan berbekal wejangan dari seorang teman, keril dan segala isinya, lengkap dipanggul. Naik turun antara kereta api ekonomi dan angkutan umum yang penuh sesak dengan orang-orang yang lebih membutuhkan, sebetulnya, ketimbang saya yang hanya memuaskan hasrat tersendiri.

Sore merembang dengan cerahnya. Lembayung belum lagi muncul di ujung cakrawala sebelah barat. Dingin menyergap bersama hembusan angin yang lambat menerpa. Meski sudah memakai jaket, rasanya dia menerobos bebas, membelai kulit yang belum mandi dari kemarin sore. Pelataran luas, berisi warung-warung yang berbanjar lurus. Cahaya remang dan dari lampu pijar lima watt, iringan musik dangdut yang diputar dari VCD player bermerk “murahan”, mengalun keras. Adzan Ashar baru saja lewat. Memanggil pohon dan hutan bersujud dan bertasbih. Juga jiwa-jiwa penganut ajaran kenabian Muhammad SAW.

Saya sendirian. Menata kembali sleeping bag dan tenda kecil yang akan saya gunakan nanti. Berkali-kali menimbang-nimbang, benda apa yang belum lengkap, dan tidak menemukan apapun, sebagai jawabannya. Mata menatap ke arah puncak. Hanya ada celah sedikit kelihatan. Diantara tulisan-tulisan besar yang dibuat mirip dengan kata Hollywood di Amerika sana.

Saya sendirian
Merenenungi panggilan gunung yang datang bertalu-talu
Saya masih muda
Hingga darah dan amarah seperti kopi  dan susu

Saya sendirian
Menelisik segala kemungkinan pembuktian kesejatian
Saya masih muda
Tak tau mana yang pantas dan tidak patut dituturkan

Jalanannya, penuh debu. Berkali-kali saya mencipratkan air pada slayer kecil yang saya pakai untuk menutupi mulut dan hidung. Meneruskan langkah kecil yang semakin keatas. Beberapa pendaki lain, berebut jalur dengan kelambatan saya. Menerobos dengan cepat mengejar waktu yang terus berjalan tanpa bisa menunda gelap. Sore begini, pendaki-pendaki gunung berebut naik untuk bisa mengejar Pos Terakhir. Pelataran ideal untuk mendirikan tenda sebelum mencapai puncak. Saya, masih terseok dengan pelan, diterpa debu-debu yang beterbangan oleh hantaman sepatu-sepatu dan sandal-sandal gunung setengah berlari itu.

Magrib hampir datang. Tapi langit masih cerah membiru. Hembusan angin semakin kuat menerjang. Menerbangkan beberapa dendelion kering yang dengan manisnya melayang-layang mengikuti arah tak tentu. Arah angin. Mereka seperti menari-nari ditiup angin sore itu. Membiarkan dirinya pasrah, tidak protes atau memberontak kemana mereka akan tiba. Semuanya hanya soal waktu dan kesempatan. Mereka begitu bijaksana.
Perut saya lapar. Berusaha untuk mencapai tempat aman untuk sekedar meluruskan kaki dan membuka bekal. Selagi menyaksikan pergantian hari menuju pekat. Malam selalu membawa misterinya sendiri. Dimanapun berada, malam seperti menyimpan sebuah rahasia yang susah untuk ditebak. Bahkan dia sendiri, enggan untuk memberitahu kepada siapapun. Dia adalah kegelapan sempurna, tanpa pembanding. Pelindung maha dahsyat tanpa pernah menyakiti.

Rasanya, saya selalu terpukau oleh pergantian siang dan malam. Betapa ia menyajikan beragam pertanyaan yang selalu tidak pernah terjawab, dan ingin selalu ditanyakan. Apa guna gelap dalam malam? Apakah malam itu gelap, atau gelap itu sendiri adalah malam? Entahlah.

“ Mampir, mas. Sudah akan magrib sebentar lagi. Nggak baik magrib-magrib terus jalan,”
Sebuah suara berat memanggil dari tepi jalan setapak. Sebuah pelataran kecil. Ada nyala api unggun kecil yang kelihatannya baru. Seorang lelaki berkulit gelap, duduk menghadapi nyala api yang terombang ambing dimainkan angin. Asap putih mengepul. Buta arah. Sesekali dia menerpa si lelaki itu, namun nampaknya tidak digubris.

Saya menepi. Melepaskankan keril yang makin terasa berat. Meregangkan badan dan ikut duduk didepannya. Setelah mengucapkan terima kasih dan basa basi perkenalan standar.

“ Saya dari Bekasi, mas,” jawabku ketika dia menanyakan dari mana asalku. Kemudian kami bercerita, masing-masing. Kopi panas menemani kami sepanjang petang itu.

“ Aku sudah beberapa kali kesini, Mas Boim. Maklum, kan dekat. Rumahku nggak ada 2 jam dari sini. Naik motor juga jadi,” katanya dengan sopan. Khas sekali ke-jawaan yang dia bawa. Dalam omongannya, tidak pernah saya dengar sekalipun dia terkesan menyombongkan diri. Tuturnya halus. Pembawaannya kalem. Dari ceritanya, dia selalu kesini setiap tahun. Terutama pada bulan, bulan tertentu. Bukan pesugihan. Dia hanya senang berada diketinggian. Meski tidak membawa tenda, dan hanya tidur dibawah hamparan bintang dan langit. Beralas tikar kecil gulung dan berselimut sarung.

Namanya, mas Gatot. Dia seorang petani tembakau. Pada saat senggang, dia biasa mendaki gunung. Seperti sekarang ini.

Obrolan kami, berlanjut, hingga larut malam. Saya yang tadinya akan mengejar pos terakhir, menghentikan langkah dan bertekad menemaninya, yang juga mendaki sendiri disini. Berbagi cerita dan berbagi kehangatan kopi yang kemudian kami seduh terus menerus.

Menjelang subuh, saya memutuskan untuk bergerak ke puncak. Setelah sempat tertidur, tanpa memakai tenda. Hanya fly sheet tipis yang dibentang sebagai atap. Mas Gatot menolak untuk tidur disana. Katanya dia akan berjaga semalaman. Namun, ketika saya bergerak, saya mendapatinya tidur, sambil duduk. Karena tidak tega untuk membangunkannya, saya meneruskan naik.

Hari itu, tidak begitu banyak pendaki yang sampai ke puncak gunungi. Hanya ada serombongan pemuda pemudi yang kemarin menyalip saya, dan beberapa tenda di pos terakhir.

Hingga ketika saya memutuskan turun, saya tidak berjumpa dengan mas Gatot. Entah dia turun sebelum kepuncak atau saya yang memang tidak memperhatikan.

Bukankah,
pada setiap pertemuan, selalu ada perpisahan
Meski
tidak pernah ada yang betul-betul siap menjalaninya

Kita diciptakan untuk saling bertatap dan kemudian berpaling
Kita diciptakan untuk saling menyapa kemudian menggunjing
Kita diciptakan untuk saling mengenal kemudian melupakan

Bukankah itu kodrat?
(bmkr/231013)


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny