Pertemuan saya dengan mas Gatot, beberapa tahun yang lalu, membuat
saya kembali mengingat cerita itu. Sebuah perjalanan, ketika keremajaan dan
pubertas meledak-ledak. Ada sekelumit pembicaraan yang terus terendap dalam benak
saya. Sesekali membendung manakala egoisme itu begitu keras menghentak ingin
keluar.
photo by @jerry_tommm |
“ Mas Boim, naik gunung emang cari apa?” tananya mengejutkan.
“ Nyari apa ya mas. Saya nggak
ngerti pertanyaannya,” saya menghindar karena tidak siap mendapatkan
pertanyaan begitu. Rasanya, letih berjalan dari sore tadi, hingga sampai hampir
tengah malam ini, masih terus terasa.
Dia menghela nafas. Kemudian tertawa kecil. Menghisap rokok nya yang
tinggal setengah, dan menghembuskan asap putih bercampur uap nafas yang
tersamar. Menggeser duduknya sedikit. Sekarang dia mengangkat lutunya sebelah,
dari posisinya yang bersila tadi.
“ Maksud saya, kenapa mendaki gunung? Kan enak di kota. Naik gunung sudah capek, panas, dingin,
lapar. Belom lagi ongkosnya mahal. Lha, saya kan deket. Naik motor gak sampe
10.000 udah sampai sini,” lanjutnya.
“ Ohh,, itu. Ya. Seneng aja mas. Kata orang sih, untuk mencari jati
diri. Jadi ya, ikut deh. Begitu kayaknya,” kata saya. Yakin benar dengan
jawaban itu.
Dia terdiam sebentar. “ udah ketemu? Jati dirinya?” lanjutnya.
“ Heh?!”
“ Iyah. Tadi katanya nyari jati diri. Udah ketemu belum?”
Rasanya, muka saya pasti merah membara. Malu betul. Sebenarnya, apa
jati diri itupun, saya tidak pernah tau. Hanya mendengar dari orang-orang saja.
Bagaimana wujudnya dan dimana mencarinya, serta bagaimana cara mendapatkannya,
saya tidak pernah mengerti. Apa kalian tau, apa itu jati diri kalian? Kenapa mencari
kegunung-gunung?
Jati diri itu, tidak pernah di buang. Jati diri itu melekat di dalam
badan, dari sejak kamu dikandungan. Kemanapun kamu cari, ya nggak akan ketemu.
Dia bukan dicari. Bukan pula ditemukan. Jati diri itu erat kaitannya dengan
etika, dengan pembawaan, dengan bagaimana cara kamu menerima hidup sebagai
hidup. Hidup itu tentang penerimaan. Tidak dengan perlawanan diri. Mendaki
gunung untuk mencari jati diri, adalah perlawanan dirimu, kepada emosi yang terlalu
tinggi. Merasa mampu menyelesaikan apapun. Merasa gagah. Merasa punya kekuatan
bisa berdiri lebih tinggi dari pada yang lain. Penerimaan bukan berarti diam.
Carilah jati dirimu, dalam dirimu. Tidak diluar sana, bukan dikabut-kabut
gunung. Bukan dalam samudra atau gelap nya goa-goa. Kenali diri dulu. Baru jati
dirimu akan kamu lihat.
Begitu ucapan mas Gatot yang selalu terendap dibenak. Dia jadi semacam
benteng buat saya. Dan ketika saya renungkan berulang-ulang, saya sependapat
dengan itu.
Pertemuan saya dengan mas Gatot, memang sudah beberapa tahun yang
lalu. Tapi rasanya dia terus hidup dalam sanubari saya. Wajahnya yang tulus,
khas betul. Ucapannya yang lembut, namun pasti dan tidak pernah berkesan
sombong, rasanya masih mendengung ditelinga, sampai ke hari ini.
Hari itu, saya kembali kesini. Ke kaki gunung tempat beberapa tahun
yang lalu saya pertama kali mendaki kesini. Tidak banyak yang betul-betul
berubah. Hanya, warung-warung yang nampak semakin banyak. Parkiran yang sudah
diberi aspal rapi. Dan meski tidak betul-betul rapi, nampaknya ini sudah mulai
diatur.
Ramai betul pendaki-pendaki era sekarang. Rata-rata masih muda belia. Remaja yang sedang mencari jati diri, sama seperti yang saya lakukan beberapa tahun silam. Rombongan-rombongan
berjumlah lebih dari sepuluh orang, nampak memenuhi tiap warung yang ada.
Menunya masih sama. Mie rebus, hingga nasi rames. Jangan takut mahal. Disini semuanya
terjangkau.
Pendakian saya kali ini, juga bukan pendakian sendiri. Rombongan saya
lebih dari tiga puluh orang. Kami mengenakan kaos seragam yang kalau nanti
dipakai dipuncak akan sangat cling. Sangat cantik kelihatan dimata.
Jalananpun masih sama. Setapak dengan debu-debu yang mengepul bebas.
Ladang pertanian dikanan kirinya, masih juga sama. Beberapa petani masih sibuk
dengan pekerjaannya. Hari memang masih cukup pagi. Dan udara bagus betul hari
ini. Tidak ada alasan untuk mereka, barangkali, menyelesaikan pekerjaan lebih
awal.
Dan kami mulai berjalan. Membelah jalanan sore hari itu. Alasannya,
supaya tidak terlalu terik. Dan nampaknya itu masuk akal.
Perjalanan ini,
Membawaku pada sebuah pertanyaan
Yang lama hilang
Inikah pembukti kesejatian?
Inikah pencarian jati diri?
Aku siapa?
Aku dari mana?
Hingga pada tempat yang saya betul-betul ingin tuju, saya berhenti. Membiarkan
kawan-kawan yang lain mendahului. Alasan saya, ingin istirhat dulu. Beberapa
tahun yang lalu, saya bertemu dengan mas Gatot. Disini. Yah, ditempat ini. Saya
mampir. Ada dua pendaki lain, yang nampaknya warga setempat. Setelah
berbasa-basi, saya duduk. Mengambil air minum dan duduk membakar rokok.
Rasanya, saya masih ingat
betul. Malam ketika mas Gatot memberi saya wejangan tentang jati diri itu. Ingat
bagaimana dia tertidur sambil duduk, ketika saya berangkat ke puncak menjelang
subuh. Disini. Ditempat ini.
Jadilah saya bercengkrama dengan dua pendaki yang sedang istirahat
tadi. Dari mereka, saya tau bahwa mereka sedang menunggu seorang teman lagi.
Jadi mereka menunggu disini.
“ Nah, itu mereka sudah datang,” kata seseorang dari mereka. Sambil menunjuk
ke arah jalur setapak dan melambaikan tangan. Saya yang membelakangi jalur,
jadi ikutan menoleh sekilas. Seorang lelaki dengan seorang anak kecil, mungkin
berusia sekitar tiga tahun, nampak dikejauhan.
“ Ah, anak ini, tadi rewel dibawah. Minta jajan dulu. Jadi saya naik
agak lama. Maaf yah.” Kata-kata yang diucapkan dalam bahasa Jawa itu, terdengar
dari belakang saya. Saya yang baru akan menempelkan gelas ke bibir, kemudian berhenti.
Rasanya, suara itu tidak asing buat saya. Rasanya, saya mengenal sengau berat suara dari belakang saya itu.
Saya menoleh. Dan terkejut setengah mati ketika mendapati itu, adalah
mas Gatot. Menggandeng seorang anak kecil yang lucu. Dia terlihat tenang.
“ Apa kabar, mas Boim?” katanya santai. Seolah baru kemarin sore kami
ketemu. Saya menjadi gugup. Rasanya seperti mustahil bertemu dengan orang
beberapa tahun lalu, kemudian bertemu lagi ditempat yang sama.
Dia duduk. Anak yang digandengnya tadi juga duduk. Mengunyah makanan
yang dia bawa-bawa. Kemudian beringsut ke pangkuan mas Gatot.
“ Namanya, Elang. Dia anak saya mas,” katanya.
Saya masih terbengong. Dia duduk disebelah saya, kemudian menepuk
punggung saya.
“ Alam yang mempertemukan kita, mas. Jangan risau,” katanya.
Kemudian tersenyum. Masih dengan senyum yang itu. Yang dulu.
Dan ketika alam memanggil
Batin tidak kuasa untuk
mangkir
Kemana dia menyeru, kesana badan
dibawa
Pada kabut dan angin
dipegunungan, saya titipkan
Salam dan do'a
Buat seseorang yang jauh
disana...
Aku sudah menemukan jati diriku
.....
Comments
Post a Comment