Skip to main content

Lelaki : Cerita dari Gunung – Bagian 2


Pertemuan saya dengan mas Gatot, beberapa tahun yang lalu, membuat saya kembali mengingat cerita itu. Sebuah perjalanan, ketika keremajaan dan pubertas meledak-ledak. Ada sekelumit pembicaraan yang terus terendap dalam benak saya. Sesekali membendung manakala egoisme itu begitu keras menghentak ingin keluar.

photo by @jerry_tommm

“ Mas Boim, naik gunung emang cari apa?” tananya mengejutkan.
“ Nyari apa ya mas. Saya nggak  ngerti pertanyaannya,” saya menghindar karena tidak siap mendapatkan pertanyaan begitu. Rasanya, letih berjalan dari sore tadi, hingga sampai hampir tengah malam ini, masih terus terasa.

Dia menghela nafas. Kemudian tertawa kecil. Menghisap rokok nya yang tinggal setengah, dan menghembuskan asap putih bercampur uap nafas yang tersamar. Menggeser duduknya sedikit. Sekarang dia mengangkat lutunya sebelah, dari posisinya yang bersila tadi.

“ Maksud saya, kenapa mendaki gunung? Kan enak di  kota. Naik gunung sudah capek, panas, dingin, lapar. Belom lagi ongkosnya mahal. Lha, saya kan deket. Naik motor gak sampe 10.000 udah sampai sini,” lanjutnya.
“ Ohh,, itu. Ya. Seneng aja mas. Kata orang sih, untuk mencari jati diri. Jadi ya, ikut deh. Begitu kayaknya,” kata saya. Yakin benar dengan jawaban itu.
Dia terdiam sebentar. “ udah ketemu? Jati dirinya?” lanjutnya.
“ Heh?!”
“ Iyah. Tadi katanya nyari jati diri. Udah ketemu belum?”

Rasanya, muka saya pasti merah membara. Malu betul. Sebenarnya, apa jati diri itupun, saya tidak pernah tau. Hanya mendengar dari orang-orang saja. Bagaimana wujudnya dan dimana mencarinya, serta bagaimana cara mendapatkannya, saya tidak pernah mengerti. Apa kalian tau, apa itu jati diri kalian? Kenapa mencari kegunung-gunung?

Jati diri itu, tidak pernah di buang. Jati diri itu melekat di dalam badan, dari sejak kamu dikandungan. Kemanapun kamu cari, ya nggak akan ketemu. Dia bukan dicari. Bukan pula ditemukan. Jati diri itu erat kaitannya dengan etika, dengan pembawaan, dengan bagaimana cara kamu menerima hidup sebagai hidup. Hidup itu tentang penerimaan. Tidak dengan perlawanan diri. Mendaki gunung untuk mencari jati diri, adalah perlawanan dirimu, kepada emosi yang terlalu tinggi. Merasa mampu menyelesaikan apapun. Merasa gagah. Merasa punya kekuatan bisa berdiri lebih tinggi dari pada yang lain. Penerimaan bukan berarti diam. Carilah jati dirimu, dalam dirimu. Tidak diluar sana, bukan dikabut-kabut gunung. Bukan dalam samudra atau gelap nya goa-goa. Kenali diri dulu. Baru jati dirimu akan kamu lihat.

Begitu ucapan mas Gatot yang selalu terendap dibenak. Dia jadi semacam benteng buat saya. Dan ketika saya renungkan berulang-ulang, saya sependapat dengan itu.

Pertemuan saya dengan mas Gatot, memang sudah beberapa tahun yang lalu. Tapi rasanya dia terus hidup dalam sanubari saya. Wajahnya yang tulus, khas betul. Ucapannya yang lembut, namun pasti dan tidak pernah berkesan sombong, rasanya masih mendengung ditelinga, sampai ke hari ini.

Hari itu, saya kembali kesini. Ke kaki gunung tempat beberapa tahun yang lalu saya pertama kali mendaki kesini. Tidak banyak yang betul-betul berubah. Hanya, warung-warung yang nampak semakin banyak. Parkiran yang sudah diberi aspal rapi. Dan meski tidak betul-betul rapi, nampaknya ini sudah mulai diatur.

Ramai betul pendaki-pendaki era sekarang. Rata-rata masih muda belia. Remaja yang sedang mencari jati diri, sama seperti yang saya lakukan beberapa tahun silam. Rombongan-rombongan berjumlah lebih dari sepuluh orang, nampak memenuhi tiap warung yang ada. Menunya masih sama. Mie rebus, hingga nasi rames. Jangan takut mahal. Disini semuanya terjangkau.

Pendakian saya kali ini, juga bukan pendakian sendiri. Rombongan saya lebih dari tiga puluh orang. Kami mengenakan kaos seragam yang kalau nanti dipakai dipuncak akan sangat cling. Sangat cantik kelihatan dimata.

Jalananpun masih sama. Setapak dengan debu-debu yang mengepul bebas. Ladang pertanian dikanan kirinya, masih juga sama. Beberapa petani masih sibuk dengan pekerjaannya. Hari memang masih cukup pagi. Dan udara bagus betul hari ini. Tidak ada alasan untuk mereka, barangkali, menyelesaikan pekerjaan lebih awal.

Dan kami mulai berjalan. Membelah jalanan sore hari itu. Alasannya, supaya tidak terlalu terik. Dan nampaknya itu masuk akal.

Perjalanan ini,
Membawaku pada sebuah pertanyaan
Yang lama hilang
Inikah pembukti kesejatian?
Inikah pencarian jati diri?

Aku siapa?
Aku dari mana?

Hingga pada tempat yang saya betul-betul ingin tuju, saya berhenti. Membiarkan kawan-kawan yang lain mendahului. Alasan saya, ingin istirhat dulu. Beberapa tahun yang lalu, saya bertemu dengan mas Gatot. Disini. Yah, ditempat ini. Saya mampir. Ada dua pendaki lain, yang nampaknya warga setempat. Setelah berbasa-basi, saya duduk. Mengambil air minum dan duduk membakar rokok.

Rasanya, saya masih  ingat betul. Malam ketika mas Gatot memberi saya wejangan tentang jati diri itu. Ingat bagaimana dia tertidur sambil duduk, ketika saya berangkat ke puncak menjelang subuh. Disini. Ditempat ini.

Jadilah saya bercengkrama dengan dua pendaki yang sedang istirahat tadi. Dari mereka, saya tau bahwa mereka sedang menunggu seorang teman lagi. Jadi mereka menunggu disini.

“ Nah, itu mereka sudah datang,” kata seseorang dari mereka. Sambil menunjuk ke arah jalur setapak dan melambaikan tangan. Saya yang membelakangi jalur, jadi ikutan menoleh sekilas. Seorang lelaki dengan seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar tiga tahun, nampak dikejauhan.

“ Ah, anak ini, tadi rewel dibawah. Minta jajan dulu. Jadi saya naik agak lama. Maaf yah.” Kata-kata yang diucapkan dalam bahasa Jawa itu, terdengar dari belakang saya. Saya yang baru akan menempelkan gelas ke bibir, kemudian berhenti. Rasanya, suara itu tidak asing buat saya. Rasanya, saya mengenal sengau berat suara dari belakang saya itu.

Saya menoleh. Dan terkejut setengah mati ketika mendapati itu, adalah mas Gatot. Menggandeng seorang anak kecil yang lucu. Dia terlihat tenang.

“ Apa kabar, mas Boim?” katanya santai. Seolah baru kemarin sore kami ketemu. Saya menjadi gugup. Rasanya seperti mustahil bertemu dengan orang beberapa tahun lalu, kemudian bertemu lagi ditempat yang sama.

Dia duduk. Anak yang digandengnya tadi juga duduk. Mengunyah makanan yang dia bawa-bawa. Kemudian beringsut ke pangkuan mas Gatot.
“ Namanya, Elang. Dia anak saya mas,” katanya.

Saya masih terbengong. Dia duduk disebelah saya, kemudian menepuk punggung saya.
“ Alam yang mempertemukan kita, mas. Jangan risau,” katanya.

Kemudian tersenyum. Masih dengan senyum yang itu. Yang dulu.

Dan ketika alam memanggil
Batin tidak kuasa untuk mangkir
Kemana dia menyeru, kesana badan dibawa

Pada kabut dan angin dipegunungan, saya titipkan
Salam dan do'a
Buat seseorang yang jauh disana...
Aku sudah menemukan jati diriku
 .....

Saya terpana. Pertemuan yang aneh. (bmkr/241013)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny