Untuk terima ku seadanya
Karena ku tak sanggup, karena ku tak mampu
hidup tanpa dia disisiku ..
Itulah, beberapa bait lagu dari soundtrack film negara tetangga Malaysia, yang beru saja selesai saya tonton. Rasanya, terlalu melankolis, bahkan cenderung cengeng, pada awalnya.
Film itu, berjudul Ombak Rindu. Sama dengan novel yang mendahuluinya. Karangan seorang perempuan Malaysia yang mengangkat kisah percintaan klasik, dengan bumbu ketidakrestuan orang tua terhadap percintaan anaknya. Juga, kisah tentang kesejatian cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang.
Izzah, seorang perempuan dari kampung, dipaksa datang ke Kuala Lumpur oleh pamannya. Dia lalu menjualnya kepada sebuah club malam, dan dipaksa untuk menjadi pelacur. Sementara Haris, sang lelaki, adalah seorang pria tampan, sukses, pengusaha perkebunan yang menjadi langganan klub tersebut. Takdir mempertemukan mereka. Dan disanalah kisah itu bermula. Izzah, menjadi perempuan simpanan yang kemudian dinikahi Haris, yang ternyata sudah terikat pertunangan dengan seorang selebriti terkenal di Malaysia. Begitulah, tidak ada bedanya dengan sinetron kita yang beredar dilayar kaca televisi setiap hari.
Izzah, seorang perempuan dari kampung, dipaksa datang ke Kuala Lumpur oleh pamannya. Dia lalu menjualnya kepada sebuah club malam, dan dipaksa untuk menjadi pelacur. Sementara Haris, sang lelaki, adalah seorang pria tampan, sukses, pengusaha perkebunan yang menjadi langganan klub tersebut. Takdir mempertemukan mereka. Dan disanalah kisah itu bermula. Izzah, menjadi perempuan simpanan yang kemudian dinikahi Haris, yang ternyata sudah terikat pertunangan dengan seorang selebriti terkenal di Malaysia. Begitulah, tidak ada bedanya dengan sinetron kita yang beredar dilayar kaca televisi setiap hari.
Perkenalan saya dengan film ini pun, sebenarnya kebetulan saja. Ketika saya di Kuala Lumpur, seorang kawan, memutar lagu ini di mobilnya. Kemudian, bercerita tentang film itu. Dan ketika akan pulang, karena penasaran yang sangat, saya menyempatkan diri, mencari buku Ombak Rindu itu di semua toko buku yang saya temukan. Namun, entah karena tidak ada lagi cetakan yang beredar atau memang tidak berjodoh, buku itu tidak saya dapatkan. Menurut seorang penjaga toko buku di bandara, buku itu, sudah tidak ada lagi. Jadilah saya mencari film nya lewat internet, dan berhasil mendapatkannya disalah satu situs yang saya temui.
Ini kisah tentang kelembutan hati, yang bisa berhasil melembutkan hati.
Sulit betul rasanya, menjadi orang yang konsisten berhati lembut. Banyak energi dari kita yang keluar, justru untuk hal-hal yang tidak baik. Marah misalnya. Meskipun itu adalah hal yang wajar dan sangat manusiawi, namun, jika tidak dikendalikan dengan benar, marah bisa jadi bumerang yang bisa saja mencelakakan diri sendiri. Menjaga konsistensi untuk berhati lebut, sama sulitnya dengan memulainya.
Pertanyaannya, apakah wanita selalu berhati lembut, dan lelaki sebaliknya? Ataukah lelaki yang berhati lembut itu akan kehilangan pamor sebagai mahluk yang terkenal “gagah dan jantan”?
Dalam sebuah risalah yang pernah dibaca, Rasulullah Muhammad SAW, adalah insan di dunia yang mempunyai kelembutan hati yang sulit ditandingi. Beliau, adalah contah sebuah kesempurnaan dalam pengendalian emosi dan kearifan. Namun, dalam risalah yang lain, kita bisa mendapatkan dengan mudah, bagaimana dia bisa menjadi prajurit, pemimpin perang yang sangat tangguh. Beliau, bisa saja menjadi singa di padang pasir, namun pada fase yang lain, beliau bisa manjadi oase didalamnya.
Dalam film Ombak Rindu, mungkin Izzah, perempuan kampung yang berparas cantik itu, bisa melembutkan hati Haris, yang terbiasa hidup dalam kemodernan yang mapan. Izzah, yang menjadi istri, namun dengan status yang tersembunyi, kemudian bisa mencairkan keras kepala suaminya, Namun, bisa jadi tidak seperti Haris atau Izzah. Menjadi diri sendiri, nampaknya lebih sulit. Ketika masalah membentang dalam sebuah lembaran kusut yang sulit sekali diurai. Ibarat benang layangan yang menggumpal tak tahu dimana ujungnya. Bahkan ketika ujung-ujungnya telahpun terpecah, dia tetap kusut karena tak ada satu ujungpun yang bisa melepakan simpul-simpul yang saling mengait. Mengalah saja, rasanya tidak cukup. Ikhlas, seperti rasa yang sangat mahal dan sulit untuk bisa dikaji keberadaannya. Seperti hilang dari kamus bahasa yang tebalnya sama dengan trotoar jalanan.
Ikhlas. Beberapa hari ini, saya seperti sangat asing mendengar kata itu keluar dari mulut sendiri. Kata itu, seperti bias. Ada namun tidak ada. Tidak ada, namun ada. Lebih seperti hanya idiom atau kiasan. Cakupan yang ada dalam kata itupun, seperti tidak cukup kuat untuk mendeskripsikan kata itu menjadi kelihatan hidup. Semuanya seperi bayangan. Pernah, ada pepatah yang mengatakan, belajarlah ilmu ikhlas, dan semuanya akan menjadi mudah. Rasanya, ini masuk akal juga. Karena keikhlasan itu pada akhirnya, akan membuat segala hal menjadi lebih enteng untuk dihadapi. Dam itu pula yang kemudian membuat hati menjadi lapang, dan lembut.
Apakah, kelembutan hati, keikhlasan dan keraguan itu, bisa saling terkait? Apakah perasaan yang selalu membuat gelisah itu bagian dari keraguan?
Izzah, dalam lakon kita itu, pernah ragu-ragu terhadap Haris. Namun, kata-kata yang membuat dia menjadi kuat, justru adalah kata yang sangat sederhana. Bahwa Haris, akan selalu menjadikan dia yang terpenting dalam hidupnya. Ketika prahara hidup perkawinan mereka yang menjadi rahasia, kemudian menjadi dilema, Haris dengan tegas mengatakan ia adalah istinya, lebih dari dua tahun. Dan ketika menikahi Izzah, sang dewi, hanya mengharap hubungan itu menjadi halal.
Pada dasarnya, manusia memang selalu dirundung ragu. Dalam banyak hal. Sedikit sekali orang yang bisa mengambil keputusan dalam sekejap mata. Pertimbangan diri, pengaruh lingkungan akan menjadikan si ragu ini, subur. Seperti cendawan terkena hujan. Kemudian mengakar dan beranak pinak. Meracuni pikiran dan akal sehat yang tadinya, tidak tahu menahu tentang rasa itu. Namun, ragu seperti telik sandi, yang datang tanpa diketahui, bahkan keberadaanya pun tidak disadari oleh pikiran. Begitu tenang dia datang, mengobrak abrik hati kemudian meninggalkan bekas tidak tersembuhkan. Yang bisa menyembuhkannya, hanya keteguhan hati, ikhlas dan menerima.
Di sekolah manapun, ikhlas tidak diajarkan dengan detail. Karea itu tadi, dia seperti kata yang seolah dihapus maknanya dari kamus. Hanya ada huruf-huruf yang menyatukannya saja, namun tidak bisa dijabarkan dengan seksama. Izzah yang kemudian merelakan sang suami, menikah lagi dengan tunangannya, dan menjadikan dia sebagai madu, pun tidak luput dari gusar. Bahkan, ketika ia menawarkan kepada Mila, perempuan yang menjadi istri kedua Haris, untuk membagi suaminya, itu tidak seperti ikhlas. Itu seperti pasrah dan ketidakberdayaan ia akan perlawanan untuk mendapatkan Haris secara utuh.
Apakah ini sah? Membiarkan hati terluka hanya karena tidak berdaya membendung sesuatu yang sudah terjadi? Pasrah pada keadaan untuk bisa menjalani ini dengan benar. Dengan wajar.
Rasanya, itu terlalu naif, dan hanya ada di film. Dan karena film itu hanya fragmen dua jam dari kehidupan bertahun-tahun, dia selalu kelihatan mudah dan terarah untuk diselesaikan. Pada kenyataanya, itu perlu waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan untuk diselesaikan.
Berajar ikhlas, dimana sekolahnya? (bmkr/31012)
photo : google
Comments
Post a Comment