Bayang-Bayang Nyata
Badan saya, rasanya letih juga.
Hari semakin larut. Suara langkah pendaki-pendaki malam semakin hilang
dari pendengaran. Hanya ada nyala lampu senter yang bergerombol dibeberapa
tempat, bergerak lambat membelah malam, dikejauhan. Nun dibawah sana, ratusan
lampu-lampu pemukiman desa, nampak menguning dan putih, seperi gerombolan
kunang-kunang mati, tapi tetap bersinar. Atau seperti jamur fosfor yang menyala
kaku dalam gelap pohonan bambu dibelakang rumah, ketika saya kecil dulu.
Pada malam-malam seperi ini, saya merasakan energi alam yang
sebenarnya. Di tubuh gunung, yang didalamnya terdapat jutaan ton lahar panas,
siap menghancurkan peradaban disekitarnya, kami duduk dengan mencari hangat di api
unggun. Mencoba meresapi dingin yang semakin beku. Membuat catatan-catatan
sendiri dalam pikiran masing-masing. Dan mengeluarkannya pada masa yang tepat,
suatu saat nanti.
Perjumpaan dengan mas Gatot yang ganjil terus membuat otak saya
berputar. Terkadang pusing juga. Tapi, seperti kata mas Gatot, alam sudah
memberikan panggilannya kepada siapa saja yang dikehendaki. Kami berdua, salah
satunya. Demikian alam berahasia kepada mahluk.
Ketiga lelaki itu, duduk dihadapan saya. Dua diantaranya, dibatasi api
unggun yang menyala semakin redup, seperti dimakan gelap. Memelintir papir yang
diisi tembakau asli buatan lokal. Saya sempat merasakannya. Rasanya, memang
beda. Lebih bersih. Kira-kira begitu. Dari Temanggung, kata kawan mas Gatot.
Temanggung, memang terkenal dengan tembakau nya. Salah satu sentra penghasil
tembakau terbaik di Indonesia.
“ Jam berapa besok akan ke puncak, mas?” tanya salah seorang dari
mereka. Tangannya masih sibuk dengan tembakau dan papirnya, “ biar saya antar,”
lanjutnya.
“ Iya, betul itu. Kau antar ya. Kita sudah ngobrol semalaman dengan
mas Boim yang akan kepuncak, dan
terpisah dari rombongannya. Betul kan mas?” kali ini, mas Gatot yang bicara.
Saya hanya nyegir saja. “
wah, saya sih seneng aja kalo dianter, mas. Tapi tidak perlu repotlah. Saya
pernah kesini, kok. Jadi rasanya nggak akan nyasar,” jawabku.
“ Ini bukan perkara nyasar atau bukan, mas. Ini masalah penghormatan
kepada sesama teman,” mas Gatot menimpali.
“ Saya nggak paham, mas Gatot. Maksudnya apa?”
“ Begini. Ketika ketemu kemarin, situ kan niatnya pengen ke puncak,
bareng sama teman-teman sampeyan. Jalan-jalan bareng dari Jakarta. Tapi karena
kita ngobrol semalaman disini, jadinya tidak punya kesempatan buat ngobrol dan
bercengkrama dengan mereka. Sudah sewajarnya, kalau kami kemudian mengantarkan
mas ke Puncak sana. Lagi pula, kami memang tidak berniat untuk sampai kesana.
Jadi waktu kami banyak. Kasihan pula Elang. Mungkin dia belum saatnya ada
disana,” tutut nya lugas.
Saya menyerah. Membiarkan mereka berembuk tentang siapa yang akan
mengantarkan saya ke puncak, pagi nanti. Hari sudah lewat jam 2 dini hari. Saya
memutuskan untuk tidur. Tanpa membuka tenda. Menggelar matras, dan mengeluarkan
sleeping bag. Bukan main dinginnya udara malam ini. Namun, api unggun yang ada
ditengah kami, terus menyala. Membakar dingin menjadi hangat yang kemudian
menyebar dan ke sekitar. Mengelus-elus kulit yang tidak terbungkus pakaian
tebal kami.
Subuh menjelang. Cahaya kekuningan mulai muncul di timur. Langit
cerah. Setelah membereskan peralatan, saya bergegas. Rupaya, salah satu orang
dari kawan mas Gatot, yang berambut gondrong dan kurus tinggi, yang mengantarkan
saya. Dia menawarkan untuk membawa carrier saya, tapi saya tolak. Dan enaknya
lagi, pagi itu, ada piring berisi dua pisang rebus, dan secangkir kopi, masih
hangat, untuk sarapan saya. Wah, betapa senangnya saya.
Saya pamitan. Kami berdua berjalan beriringan. Saya dibelakang, dan
lelaki kurus tinggi itu didepan. Dalam perjalanan kami tidak bicara banyak hal.
Sesekali, saya minta berhenti untuk mengambil nafas dan beristirahat.
“ Jakarta itu gimana, Mas? “ tanyanya selagi kami istirahat.
“ Gimana yah? Sama aja ama jogja atau Solo mas. Macet dan penuh
orang,” kata ku seenaknya. Dia tertawa kecil.
Dari perbincangan kami, saya tau dia belum pernah ke Jakarta. Buat
dia, jakarta itu seperti mimpi. Mimpi buruk barangkali. Namun apa boleh buat,
kesempatan untuk sekedar mencicipi mimpi buruk itupun, belum bisa dia rasakan.
Dia hanya melihat itu dikoran dan di televisi. Bukan karena tidak ada uang,
katanya. Namun belum ada kesempatan untuk bisa melihat monas atau taman mini
indonesia indah. Yang paling dia ingin lihat malah bukan keduanya. Dia kepingin
sekali ke pasar tanah abang dan tugu lubang buaya, tempat para jendral di buang
ketika kejadian G-30S-PKI berlangsung. Saya tertawa kecil. Namun, kelihatanya
serius sekali dia. Dan saya berjanji untuk mengantarnya ketika dia ada
kesempatan untuk kesana.
Hari semakin terang. Pemandangan matahari terbit dari batas vegetasi
ini, begitu sempurna. Hamparan awan putih ada dibawah kami. Mengambang antara
pemukiman dibawahnya, dan langit diatasnya. Dan kami ada beberapa ratus meter
dari ketinggian awan. Ini selalu memabukkan dan selalu ingin dilihat
berkali-kali. Nun dikejauhan, gugusan gungung-gunung, melengkung lengkung dalam
siluet yan indah. Berbaris menyambung dan bertumpuk-tumpuk.
Beberapa pendaki lain bergerak bersama kami. Saya yang membawa
carrier, kemudian memutuskan untuk menyimpannya, di salah satu tenda kawan
serombongan yang ternyata tidak akan naik, karena kakinya terkilir. Bercakap-cakap
sebentar, kemudian beranjak setelah mengeluarkan botol air minum dan beberapa
bungkus biskuit. Kami masih bergerak naik.
Angin menampar-nampar wajah saya. Menerbangkan serpihan pasir halus
yang menguap ketika beradu dengan sol sepatu kami yang keras. Mas kurus tinggi
itu, masih didepan saya. Tidak nampak letih sedikitpun. Saya berusaha
mengejarnya.
Inilah, puncak itu. Hamparan pasir dan kerikil berbaur jadi satu.
Sebuah batu besar seperti ada dihadapan kami. Ada puluhan orang sudah disana.
Hari sudah agak siang. Langit membiru di tempeli awan-awan putih yang menawan.
Kami berdua duduk di bibir kawah, yang masih mengepulkan asap putih. Tanda
kehidupan gunung ini yang masih bernafas. Dalam benak, saya berfikir, bagaimana
jika sampai gunung ini meletus sekarang. Mungkin saya tidak akan bisa
menyelamatkan diri. Membayangkan itu, saya jadi ngeri sendiri.
“ Tugas saya sudah selesai yah. Janji saya untuk mengantarkan mu
sampai kesini, sudah saya bayar. Semoga
kamu senang,” katanya, seraya menjabat tangan saya.
“ Lho, mas mau kemana?”
Dia tersenyum kecil, “ Saya turun duluan. Mas kan sudah ketemu dengan
rombongan. Jadi saya percaya, tidak akan terjadi apa-apa. Selamat sampai
kembali ke Jakarta. Suatu hari, saya kan datang kesana. Temani yah, kalo ada
waktu,” katanya diakhir perbincangan kami. Kemudian dia melesat turun dengan
cepatnya.
Saya malah belum sempat tau namanya. Saya belum menitipkan salam buat
mas Gatot, Elang, dan satu kawannya dibawah sana. Yang, entah akan terus
kesini, atau tidak. Saya malah belum punya nomor telepon atau alamatnya. Ah,
saya lengah.
Ketika saya berfikir tentang
itu, dia menoleh dan berteriak. “ panggil saya Angin. Dan salam mu akan saya
sampaikan ke mereka semua di bawah sana. Selamat jalan. Hati-hatilah,” katanya
dalam deru angin yang semakin keras terdengar. Saya masih bengong melihat punggung
nya yang turun dengan setengah berlari
dalam batuan kecil dan pasir vulkanik, dengan gerakan selincah angin.
Meloncat-loncat, kemudian jalan kembali. Untuk kemudian hilang dari pandangan
mata, oleh bogkahan batuan besar yang memotong jalan. Namun, betapapun usaha
saya menemukan punggungnya dalam jalur pendakian, saya tidak bisa menemukannya
kemudian. Terlalu banyak orang lalu-lalang ketika hari semakin siang.
Rombongan saya berkumpul disebuah pelataran batu. Seperti biasa,
bercanda-canda dan saling mengolok. Membuat kopi panas dipuncak gunung memang
ritual yang menyenangkan. Menjelang siang, kami turun. Saya mengambil carrier
saya, dan bertanya kepada kawan saya, apakah dia melihat lelaki kurus tinggi
yang mendaki bersama saya, pagi tadi. Tapi, dia bilang, saya datang sendirian.
Saya masih ngotot, menjelaskan tentang lelaki kurus tinggi itu. Dan dia
berkeras bahwa saya, naik sendirin. Bahkan ketika saya pertama kali muncul dari
kejauhan.
Ketika rombongan, yang saya temui kemudian berkumpul, saya menanyakan
hal serupa. Jarak dengan mereka tidak terlalu jauh, ketika lelaki tinggi kurus,
yang minta disebut Angin itu, berpisah dalam teriakan yang cukup keras.
“ Orang yang mana? Dari tadi gua nggak liat lu sama siapapun. Malah,
ketika kami datang, lu lagi sibuk berdiri, ngeliatin sunrise yang kesiangan
sendirian,” kata salah satu dari mereka.
Saya terduduk lemas. Mengusap muka dan terus-terusan tidak percaya.
Kejadian-kejadian itu terlalu nyata. Dan ketika turun, saya menoleh ketempat
yang semalam saya, mas Gatot, anaknya, dan kedua lelaki itu ngobrol semalaman.
Bekas api unggunya masih ada. Namun, tidak ada ada yang lainnya. Tidak ada bara
api, atau bekas tenda dirikan. Hanya ada bekas api unggun saja. Serta patok
penanda ketinggian yang kaku, seolah tidak peduli dengan perubahan cuaca dan
jaman. Saya berdesir. Apa saya bermimpi?
Dipelataran, warung-warung penuh dengan para pendaki. Sepasang lelaki setengah baya, duduk santai
sambil merokok. Ada dua gelas kopi hitam didepan mereka. Nampaknya, baru pulang
dari ladang.
“ Semalam kemana mas? Kok nggak datang tahlilan,” kata lelaki separuh
baya yang bertopi kusam warna merah, Manchaster United.
“ Saya datang mas, tapi agak telat. Waktu semuanya sudah bubar. Hanya
sempat menyampaikan bela sungkawa dan mengantakan gula kopi ke Ratmi,”
jawabnya.
“ Kasihan perempuan itu. Diusianya yang masih muda, harus menjanda.
Gunung memang selalu berbuat dengan kehendaknya,” lanjut lelaki kedua.
“ Bukan begitu, Mas. Itu takdir. Gunung tidak pernah kejam. Hanya
saja, dia punya aturan sendiri. Sudah beberapa kali pendaki-pendaki hilang dan
tidak diketemukan. Mas ingat, ketika beberapa tahun lalu, seorang ayah dan anak, meninggal di
patok tiga sana? Hanya anaknya yang diketemukan. Ayahnya entah dimana. Padahal
dari keterangan pos, mereka naik berdua. Dan tepat empat puluh hari yang lalu,
dik Bayu dan temannya, juga dinyatakan hilang, dan tidak diketemukan jasadnya.
Entahlah,” katanya.
Pandangan mata saya buram. Saya
menerawang. Kemudian semuanya menjadi gelap dan semakin hilang.
Senyata inikah mimpi
Hingga, ada kopi diseduh dan
panasnya terasa ditenggorokan
Merasa dengus nafasnya terdengar
hingga kesanubari
Senyata itukah bayang-bayang,
Hingga bisa berteduh dalam naungannya
(bmkr/041113)
****************
Comments
Post a Comment