“ Masih jauh?
Pertanyaan itu, seperti berondongan peluru yang dimuntahkan dari
senapan serbu AK47. Bertubi-tubi dia menembak tepat di gendang telinga.
Beberapa memang luput, namun lebih banyak yang bersarang. Sementara jalanan
kecil berkelok-kelok, penuh akar-akar pohonan hutan yang berumur mungkin lebih
seratus tahun, muncul disela-sela daunan tua yang jatuh ke tanah. Menjadi
lembab. Bahkan mungkin dia tidak kenal sama sekali sinar matahari dibawah sini.
Beberapa bagian, pohonan tumbang dengan sembarang. Memotong jalur
kecil yang terasa terus mendaki. Ukurannya tidak merata. Beberapa sangat besar,
hingga rasanya hampir mustahil untuk meloncat keatasnya. Sisanya, kecil-kecil
tapi banyak dan rapat.
“Masih Jauh?”
Pertanyaan itu lagi. Rasanya, kuping saya ingin sekali disumbat,
hingga tidak usah mendengarnya. Seperti percuma menjelaskan jarak tempuh pada
keadaan seperti sekarang ini. Persepsi bisa saja salah. Estimasi bisa saja
meleset. Tiga puluh menit, sama artinya dengan tiga jam. Begitulah. Ketika
paru-paru mengharap lebih banyak oksigen untuk disalurkan ke otak, sementara
pada kenyataannya tidak, rasanya, salah terus yang terjadi. Otak tak bisa
mengukur ini dengan jelas.
Sedang apa dia disana, dibawah
sana ..
Mengertikah dia tentang lebatnya
hutan dan dinginnya kabut?
Mengertikah dia tentang
daun-daun yang membusuk
Sedang apa dia disana...
Apakah awan yang ada diatasku,
Sama dengan yang ada
diatasnya...
“Perlu apa lagi? Sudah semua?,”
Diam-diam, saya mengagumi ketelitiannya ketika ikut membereskan
peralatan. Meski bukan pertama kali kesini, dua pertanyaan itu seperti
kehawatiran dan perhatian. Saya mengangguk. Membereskan segala perlengkapan
dalam satu tas, kemudian menentengnya dengan satu tangan, mengukur beratnya.
Meski tidak yakin dengan ukuran pastinya, tapi saya masih bisa membawanya lari,
pikiran nakalku.
Rentang waktu tidak pernah menjadi semakin pendek. Ada lebih dari
empat tahun, terakhir kali saya menginjak kaki di sini. Menyalami pucuk-pucuk
bunga yang bermekaran dengan tetesan embun lembut yang belum semuanya kering
dalam bakar mentari pagi.
“Kamu tahu, kenapa lembah ini begitu suci, buat para pendaki?”
Saya menggeleng, “kenapa memangnya? Rasanya biasa saja. Tidak lebih
indah dari lembah-lembah lain yang saya pernah datangi. Bahkan dari tetangga
nya yang paling dekat sekalipun,”
Dia tertawa keras. Suaranya, seperti lepas menembus atmosfer, memecah
langit dan terus ke langit. Menghilang dan tidak ditarik oleh gravitasi kembali
kebumi. Dan yang pecah di bawah, menelusup diantara rumputan kering, tempat
duduk kami. Menyebar menjalar kedalam rapatan pohon-pohon tua yang mengelilingi
lembah ini. Mata saya menyapu sekitaran. Memutar pandang dan badan dua kali,
memastikan tidak ada yang merasa terganggu dengan tawanya yang keras. Entah
itu, hewan-hewan yang mungkin sedang beristirahat dan merasa terganggu, atau
mahluk lain yang kemudian tiba-tiba muncul karena teraganggu.
“ Kenapa kamu, kayak orang ketakutan begitu?”
“ Nggak apa. Cuma takut ada mahluk aneh yang tiba-tiba numbruk dari belakang.
Karena keganggu dengan suara keras tertawa mu tadi,”
Bukannya berhenti, tawanya semakin menjadi. “ Jadi pengen liat, mahluk
kayak apa yang datang nanti yah.” Katanya santai.
“ Terserah kamu aja lah. Saya nggak ikut campur kalo beneran kejadian,”
saya berkelit. “ Eh, tadi kenapa emang, alasannya?”
“ Yang mana?” suaranya sedikit aneh, karena ada sebongkah biskuit besar
sekarang bersarang dimulutnya. Sambil terus mengunyah dan memainkan matanya mendelik,
dia berusaha menelan biskuit dalam mulutnya. Orang yang aneh, pikir saya, sambil
menyodorkan botol air minum berisi teh hangat. Dia membuka botol itu, kemudian langsung
meminumnya. Beberapa detik kemudian, dia menyemburkan lagi teh itu dari mulutnya,
sambil memaki-maki. Saya tak bisa menahan tawa. Rasakan, kata saya. Dia menggerutu.
Setelah tenang, dia membetulkan duduknya. Kelihatan serius betul kemudian
menoleh ke saya, “ Benar pengen tahu?” tanyanya.
Saya mengangguk pelan, tidak bersuara.
“ Lembah ini, hanya kecil saja. Tidak pernah ada orang yang mati-matian
untuk bisa sampai kesini. Bahkan, dalam photopun, dia nampak tidak elok. Tidak ada
pemandangan memukau. Hanya rumputan kering dan bunga-bunga edelweis yang nampak
kesepian dimainkan angin. Sungai nya saja tidak pernah berisi air. Bukan tidak pernah,
hanya saja, jarang terisi air. Jika hujan turun lebat sekali, baru dia ada air.
Tempat apa ini?” dia menyulut rokoknya. Menghisap pelan asapnya, kemudian menyemburkannya
ke muka saya. Saya menepis nya. Mengambil rokok itu dari tangannya kemudian bergantian
menghisapnya.
Dia melanjutkan, “ bukan pula, karena tempat ini adalah tujuan orang-orang
hebat. Penyair penyair kenamaan, menyebutnya berkali-kali dalam tulisan mereka,
sambil menggambarkan ke mistisannya. Kalau kamu itu traveler yang merasa puas dengan
keindahan warna warni dunia, kamu tidak akan merasakan apapun disini. Semuanya nampak
sangat tidak menarik. Setuju?”
Saya menoleh, “ entahlah. Tapi rasanya semua yang kamu bilang itu benar.
Tidak ada warna warna dunia disini. Hanya hutan lebat yang mengelengkungi rumputan
kering dan bunga-bunga kering juga. Tapi ada langit biru diatas kita, kan?”
“ Ah, bodohnya kamu. Langit dimanapun akan tetap biru. Kecuali kalau penuh
polusi atau malam hari. Atau tertutup awan. Dari balkon rumah mu pun, langit akan
begitu,” sanggahnya.
Saya tahu maksudnya, hanya saja, senang menggoda dia yang selalu menggebu-gebu
dan penuh teka-teki. Setiap kali kami bicara, dia seperti seorang ahli filsafat
yang akan dengan antusias menerangkan tentang banyak hal kepada saya.
“ Lalu apa?” tanyaku – (bersambung ) / (BMKR/191113)
Comments
Post a Comment