“ Kamu percaya kalau edelweis itu bunga abadi?”
Dia merebahkan badannya terlentang, diatas rumputan lembah yang
semakin terik. Menarik kaca mata hitam yang dari tadi hanya nongkrong dikepalanya, untuk menutupi matanya yang
selalu lincah dari paparan sinar matahari. Saya serta merta membaringkan tubuh
juga. Menyandarkan kepala pada ransel yang saya bawa dari bawah. Dia menoleh.
Melemparkan senyumannya, dan bertanya lagi, “ percaya?” butuh penjelasan.
@boimakar |
Saya menggeleng. Mengerjapkan mata yang silau karena matahari. Namun,
diatas saya, agak ke kiri sedikit, beberapa tangkai bunga edelweis terlihat
mengering. Dari sudut ini, dengan berlatar langit biru tanpa batas, rasanya
luar biasa indah. Meski sudah kering, namun tetap mempesona.
“ Pertanyaan saya saja, masih belum kau jawab. Sudah nanya yang baru
lagi,” saya mengalihkan perhatian dia ke topik semula.
“ Eh? Pertanyaan yang mana? Saya tidak ingat..” dia seolah acuh. Tidak
peduli.
Sambil menendang ujung sepatunya yang dia tumpuk, “ Ahh, dasar licik. Itu, yang kau bilang lembah ini adalah tempat suci. Kenapa?”
Dia kembali tertawa. Tubuh terlentangnya berguncang-guncang.
Rumput-rumput kering yang ada dibawahnya, jadi ikutan bergoyang juga. Dia
memiringkan badannya, menyanggah kepalanya dengan satu lengan, kemudian
menaikkan kacamatanya ke kening. “ beneran, pengen tau? “ tanyanya, seolah
memastikan.
Saya mengangguk. Pasrah menantikan jawaban sekonyol apapun yang akan
terlontar dari mulutnya yang jahil.
“ Sebenernya, bukan karena edelweis dan birunya langit diatas sana.
Bukan pula karena air sungai kecil ditengah sana itu. Yang sekarang sudah
hampir kering karena musim hujan yang tidak pernah datang. Hujan sepertinya
malas turun disini. Dia membiarkan tempat ini kering seperti ini. Namun, masih
tetap indah bukan? “ katanya. Kemudian duduk memeluk lututnya. Mengambil botol
minum teh panas, dan menenggaknya perlahan. Gerakannya, mendadak santun. Tidak
seperti biasanya. Saya mengikuti.
“ Dia menjadi suci,” lanjutnya, “ setidaknya dalam pikiranku! Entah sudah berapa kali aku kesini. Tapi
rasanya tidak pernah sekalipun aku kesini. Aku seperti masuk ke suatu tempat
yang baru aku datangi. Aku hafal betul kelok-kelok menuju kesini. Hafal berapa
meter harus naik, kemudian turun ke lembah ini, hafal berapa banyak pohonan
yang aku lewati. Namun, ketika kaki menginjak rumput mati diujung sana itu, “
dia menunjuk pintu masuk, batas hutan dan lembah ini, “ rasanya seperti aku
tidak pernah kesini. Rasanya aku menjadi orang baru lagi. Kamu pernah kan,
merasa seperti itu? Pernah kan?”
“ Aku tidak tahu. Belum pernah merasa seperti itu. Atau belum
menyadari itu, tepatnya, mungkin,” saya menjawab asal saja.
“ Yah, masing-masing orang memang berbeda, dalam menerima segala
sesuatu. Menurutku, tidak ada kaitannya antara seorang penting dimasa lalu,
seorang terkenal, sering menyepi kesini. Kemudian orang-orang jadi latah ingin
kesini. Bukankah ada tempat-tempat lain yang dulu juga dijadikan orang untuk
tempat dia tirakat. Madakaripura yang konon tempat Gajah Mada semedi. Prabu
Siliwangi yang katanya pergi bertapa ke gunung-gunung di Jawa Barat. Entahlah.
Bukannya begitu? “ lanjutnya.
Saya diam saja. Tidak berusaha menjelaskan apapun. Hembusan angin dingin
menampar pipi saya dengan kencang. Menerbangkan udara dingin yang seakan berputar-putar
hanya disekitar kami. Dia mendekapkan tangannya memeluk lutut.
“ Kamu tahu, “ katanya pelan sesaat kemudian, “ seorang kawanku, pernah
mati disini. Dilembah ini,” nada ucapnya berubah. Dia yang selama ini periang, saya
lihat begitu rapuh. Saya menoleh tidak percaya. Memegang bahunya pelan, hingga membuat
dia juga menoleh. Sekilas kami beradu pandang. Ada air mata membayang tidak turun
ke pipi. Namun sejurus kemudian, dia kembali tersenyum.
“ Ah, sudah-sudah. Kita kesini kan, mau menikmati udara dingin. Hutan yang
asri. Langit yang biru. Dan rumputan padang yang harum. Kenapa juga aku harus menceritakan
yang sedih-sedih. Ya kan,” katanya mencairkan suasana. “ Eh, kamu sudah pernah kesini sebelumnya?” tanyanya
kemudian. Saya melihat getir dari nada bicaranya. Sesak yang terus menerus di benamkan,
tanpa bisa keluar dengan bebas. Dan ketika itu hampir menyembul ke permukaan, dia
harus kembali ditenggelamkan. Mungkin, dia memang ingin bercerita tentang kawannya
yang mati itu, pikir saya. Tapi, bagaimana pula saya bisa bertanya tanpa harus merendahkan
dan mengusik luka lamanya?
“ Sudah. Saya pernah kesini beberapa kali,”
“ Artinya, sudah tidak ada yang bisa saya jadikan kejutan tentang lembah
ini, yah. Semuanya kamu sudah tahu,” nadanya sedikit kecewa.
@boimakar |
Saya berusaha mengihbur, “ Belum tentu. Masing-masing orang kan punya cara
pandang sendiri tentang suatu tempat atau suatu kejadian. Meski sudah datang berkali-kali
kepasar, selalu saja ada yang baru kita lihat disana. Begitupun kesini, meski sudah
beberapa kali, saya yakin, masih ada yang belum saya lihat sementara kamu sudah
lihat,”
“ Benar juga, yah. Kamu memang pintar,” dia mengangguk dan menepuk pundak
saya. Saya hanya tertawa kecil. Kemudian mengangkat bahu, minta ceritanya dilanjut.
“ Baiklah. Hmmm...” dia seperti berfikir sesuatu. “ kamu tahu, kalau diujung
lembah sana itu, ada sarang macan kumbang, dan beberapa kali, banyak orang yang
pernah kepergok dengan mereka?” tanyanya.
Saya mengangguk. Tanpa menjawab.
Dia sedikit kecewa. Namun, rona mukanya kembali ceria. “ Eh, kalau ternyata
dulu, lembah ini juga pernah ditumbuhi mawar-mawar yang cantik, kamu juga tahu?”
tanyanya lagi.
Saya menangguk. Kembali tanpa menjawab. Memang, saya pernah juga menemukan
beberapa tangkai mawar disini. Kecil-kecil. Persis seperti mawar yang asli. Bukan
mawar yang sudah di kawin silangkan.
“ Ah, kalau semuanya kamu sudah tahu, harus cerita apa lagi?” dia menyerah.
Menarik beberapa rumput kering yang ada di dekatnya dan melemparkannya keatas, hingga
terbang di tiup angin dingin yang semakin dingin.
Saya ragu untuk menanyakannya. Tapi, bayangan tentang betapa dia memendam
cerita kematian kawannya disini, ditempat kami duduk dan memandang lepas ke sabana
keriing ini, semakin menggelitik. “ Cerita tentang kawanmu yang mati disini itu,
saya tidak tahu,” kata saya kemudan. Dia menoleh dan menatap lekat mata saya dengan
tajam.
“ Kamu tidak tahu?” tanyanya.
“ Tidak”
“ Sungguh?”
“ Iya,”
Dia membaringkan tubuhnya yang kecil itu diatas rumputan seperti tadi.
Lalu menarik nafas panjang. Mengenakan kaca mata hitamnya, dan diam. Seperti tertidur.
Tapi beberapa menit kemudian dia bangkit tergesa-gesa. Duduk terburu-buru di samping
saya, mengambil botol air teh panas dan menuangnya sedikit dalam tutupnya. Mengambil
beberapa butir kacang coklat, dan melemparkannya sekaligus ke mulut.
“ Maaf, tadi aku hampir ketiduran,” kemudian tawanya pecah. “ Saya akan
ceritakan tentang kawan saya itu, tapi janji yah. Ini antara kita saja. Janji?”
dia menjulurkan kelingkingnya.
Saya meraih kelingkingnya dengan kelingking saya, kemudian mengangguk pelan.
Benak saya menerka-nerka, orang seperti apa yang mati disini. Kenapa disini? Apakah
sosok mungil disamping saya ini, ada disini waktu hari itu? Atau dia yang menjadi
penyebab kematiannya? Ah. Tak ada satupun yang bisa menjawab semua itu. Saya menunggu
ceritanya.
“ Hari itu. Bulan November. Akhir November. Aku membangun tendaku sendirian
dalam hempasan angin dan hujan petir...” dia mulai bercerita... (bersambung ) (BMKR/221113)
Comments
Post a Comment