Skip to main content

Lelaki : Edelweis Kering di Lembah Abadi – Bagian 3

“ Hari itu. Bulan November. Akhir November. Aku membangun tendaku sendirian dalam hempasan angin dan hujan petir...” dia mulai bercerita. Suaranya agak gemetar. Namun, perlahan-lahan menjadi stabil. Saya dengan seksama menyimak, tanpa ada keinginan untuk menyela.



“ Sebenarnya, hari itu hari berlum terlalu sore. Gelap belum lagi datang. Aku tergesa-gesa menerobos gelap yang tiba-tiba datang, seiring dengan air yang deras tercurah dari langit. Setelah beberapa kali petir besar terdengar, dan kilat yang menyambar-nyambar. Beberapa pendaki lain, berhenti membuat bivak dalam celah-celah pohon yang aman. Aku menerobos. Ah, betapa sombongnya aku waktu itu,” katanya. Kemudian dia mengusap mukanya dengan kedua tangan. Seperti menyesali sesuatu yang sangat berat.

“ Aku mendaki sendirian. Kebiasaan buruk!” runtuknya. “ Aku merasa sangat jago. Meski mendaki sendirian. Beberapa kali pernah celaka, namun, tetap saja. Panggilan untuk itu, tak pernah reda. Hingga secara insting, aku sudah sangat peka dengan kondisi apapun dalam pendakian. Aku tahu, kapan hujan akan turun, dari hanya melihat langit, dan hembusan angin. Aku bisa membaca hujan dari hanya memegang tanah dan menyaksikan lalat-lalat. Kamu tahu, cara itu? “ tanyanya tertuju kepadaku.

“ Saya tidak sepandai kamu, pastinya. Namun, kalau dari perilaku hewan-hewan, seperti lalat dan kumbang, biasanya kalau mereka tidak betah ada ditanah, kemungkinan besar akan hujan. Tanah menjadi lembab dan panas, dan lalat-lalat yang sering kali berkerumun ditumpukan makanan sisa, atau sampah, jadi kepanasan dan biasanya hinggap di daun-daun pohon. Begitu, bukan?” saya berusaha menanggapi.

“ Tepat!” dia menyacungkan jempol. “ Banyak tau juga kamu, rupanya yah,” kemudian terkekeh keras.

“ Ah, hanya sedikit,” saya mengelak. “ Lalu, apa yang terjadi kemudian?”

Dia terdiam. Memandang jauh kedepan. Entah apa yang dituju. Gugusan lengkung gunung-gunung  dikejauhan yang berwarna biru gelap, menyembul diantara awan putih yang bergulung-gulung luar biasa banyak dan tebal. Rasanya, seperti melihat ada berjuta-juta kapuk yang di jemur, dan terasa empuk untuk ditiduri. Sementara langit biru tanpa cacat. Kontras dengan  putih yang berjumlah jutaan tadi.

“ Dalam hujan itu, aku berhasil sampai ke tempat ini. Di dekat pohon besar itu, aku mendirikan tenda, “ katanya, menunjuk sebuah pohon besar berdaun rindang beberapa ratus meter di sebelah kanan kami. “ Tempat ini, begitu sepi. Hanya ada dua buah tenda yang masing-masing berjauhan. Penghuninya, pasti sudah tertidur hangat dalam dekapan sleeping bag mereka masing-masing. Hujan memang masih deras. Dan petir masih menyambar-nyambar. Jadi, rasanya godaan kantong tidur lebih menyenangkan,”

Dia berhenti sejenak. Menyalakan rokok nya, kemudian menghembuskan asapnya kuat-kuat. Menghisapnya lagi, dan menghembuskannya lagi. Beberapa kali, sebelum kemudian kembali bercerita.

“ Tidak banyak yang aku lakukan hari itu. Setelah tenda berdiri. Aku mengganti baju yang basah kuyup. Namun, tenda yang basah tentu saja tidak nyaman. Tadinya aku mau lekas tidur. Namun, ternyata harus kerja bakti sendirian mengeringkan tenda. Ketika malam datang, aku baru bisa benar-benar terlelap”

“ Pagi harinya, langit membiru. Udara cerah luar biasa. Angin yang menderu-deru semalaman seperti hilang ditelan hutan yang keramat. Pagi-pagi sekali aku bangun. Beberapa pendaki sudah lebih dulu terjaga. Aku bergabung dengan mereka di sungai kecil, mengambil air untuk membuat kopi. Ketika, seorang pendaki berlari dari arah tempat kami masuk ke sini. Dia berteriak-teriak. Tolong.. tolong ada yang sakit. Kami berhamburan menemuinya. Mencari informasi lebih banyak tentang yang sakit. Untuk kemudian, kami dibawa ke tenda mereka yang letaknya  tidak terlalu jauh dari pintu masuk, “ lanjutnya.

 ****
“ Kami tidak bisa berkomunikasi dengan dia mas, kondisinya lemah sekali. Tadinya kami kira sudah mati, “
“ Dimana kalian menemukan dia,” saya penasaran.
“ Di jalur. Beberapa puluh meter sebelum tanjakan terakhir. Tubuhnya menggigil semalaman. Kami kira, sudah tidak ada orang disini. Karena malam sepi sekali. Dan hujan deras betul. Jadi kami putuskan untuk merawat dia, “
“ Berapa orang?”
“ Cuma seorang. Semalam dia sempat siuman, bisa diajak ngobrol.  Katanya, dia mendaki kesini mau cari kawannya, yang biasa kesini,”
“ Peralatannya lengkap?”
“ Lumayan. Kelihatannya dia sering mendaki gunung. Logistiknya lengkap juga,”
“ Artinya dia pengalaman,”
“ Kelihatannya begitu, Mas”
****

Dia menghentikan ceritanya. Kelihatan gelisah kemudian mencopot sepatunya. Entah apa yang akan dia perbuat. Saya hanya memperhatikan saja. Tidak tahu kemana dia akan berlaku.

“ Kami berjalan tergesa. Setengah berlari menuju tenda anak itu. Dan, ketika saya tiba di tenda anak yang minta pertolongan tadi, buru-buru aku dan yang lain, yang aku sendiri tidak kenal satu-satu karena baru pertama kali bertemu, tanpa menanyakan nama masing-masing, mendapati seseorang sedang tidur dalam balutan sleeping bag. Tubuhnya rapat tertutup, hingga wajahnya. Sedang tidur, kata seorang perempuan yang ikut menjaga dalam rombongan itu. Ada gelas air teh, dan roti tawar disampingnya. Kata perempuan itu lagi, dia belum makan, dari semalam. Meski sempat siuman dan minum beberapa teguk air teh hangat. Kemudian kami ngobrol di depan tenda,” lanjutnya.

“ Hampir satu jam, kami disana. Namun, orang itu belum juga sadar. Hingga penasaran, aku menyampaikan niatku untuk melihatnya lagi. Mereka setuju, dan kami melihat keadaanya. Dia siuman. Dari dia, kami tahu kalau ternyata dia tidak sendirian. Mereka naik bertiga dan terpisah ketika hujan petir kemarin. Dia ada di posisi paling belakang. Namun, ternyata tidak ada satupun dari dua temannya yang sampai kesini,” dia melanjutkan ceritanya.

“ Kami membawa dia turun, setelah kondisinya agak baik. Memaksa dia untuk turun secepatnya. Meski dia bilang harus mencari temannya, namun kami semua tidak setuju. Yang pasti, dia harus diselamatkan lebih dahulu. Dua kawannya itu, hidup, meski dalam tanda kutip. Kemudian melaporkan hilannya dua pendaki kawannya kepada petugas. Hanya sampai sana, pendakian ku. Tanpa ikut mengurus anak itu, karena sudah ikut membawa dia turun, aku langsung pulang. Dua hari setelah itu, aku mendapat kabar dari seorang kawan tentang kawan baikku yang mendaki dan belum kembali. Dan ternyata, dia ada diantara dua pendaki, kawan dari orang yang kami bawa turun itu. Setelah pencarian selama empat hari, kemudian aku mendapatkan kabar bahwa kedua pendaki itu, sudah diketemukan. Tewas!”


Dan ketika mengatakan, Tewas, saya mendengar getir yang sangat pekat. Saya membiarkannya menenangkan diri. Memberi nafas pada ucapan-ucapannya yang dari tadi mengalir tanpa henti. Dan tidak berani bertanya apapun ... Bersambung (BMKR/261113)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny