“ Hari itu. Bulan November. Akhir November. Aku membangun tendaku
sendirian dalam hempasan angin dan hujan petir...” dia mulai bercerita.
Suaranya agak gemetar. Namun, perlahan-lahan menjadi stabil. Saya dengan
seksama menyimak, tanpa ada keinginan untuk menyela.
“ Sebenarnya, hari itu hari berlum terlalu sore. Gelap belum lagi
datang. Aku tergesa-gesa menerobos gelap yang tiba-tiba datang, seiring dengan
air yang deras tercurah dari langit. Setelah beberapa kali petir besar
terdengar, dan kilat yang menyambar-nyambar. Beberapa pendaki lain, berhenti
membuat bivak dalam celah-celah pohon yang aman. Aku menerobos. Ah, betapa
sombongnya aku waktu itu,” katanya. Kemudian dia mengusap mukanya dengan kedua
tangan. Seperti menyesali sesuatu yang sangat berat.
“ Aku mendaki sendirian. Kebiasaan buruk!” runtuknya. “ Aku merasa
sangat jago. Meski mendaki sendirian. Beberapa kali pernah celaka, namun, tetap
saja. Panggilan untuk itu, tak pernah reda. Hingga secara insting, aku sudah
sangat peka dengan kondisi apapun dalam pendakian. Aku tahu, kapan hujan akan
turun, dari hanya melihat langit, dan hembusan angin. Aku bisa membaca hujan
dari hanya memegang tanah dan menyaksikan lalat-lalat. Kamu tahu, cara itu? “
tanyanya tertuju kepadaku.
“ Saya tidak sepandai kamu, pastinya. Namun, kalau dari perilaku
hewan-hewan, seperti lalat dan kumbang, biasanya kalau mereka tidak betah ada
ditanah, kemungkinan besar akan hujan. Tanah menjadi lembab dan panas, dan
lalat-lalat yang sering kali berkerumun ditumpukan makanan sisa, atau sampah,
jadi kepanasan dan biasanya hinggap di daun-daun pohon. Begitu, bukan?” saya
berusaha menanggapi.
“ Tepat!” dia menyacungkan jempol. “ Banyak tau juga kamu, rupanya
yah,” kemudian terkekeh keras.
“ Ah, hanya sedikit,” saya mengelak. “ Lalu, apa yang terjadi
kemudian?”
Dia terdiam. Memandang jauh kedepan. Entah apa yang dituju. Gugusan
lengkung gunung-gunung dikejauhan yang
berwarna biru gelap, menyembul diantara awan putih yang bergulung-gulung luar
biasa banyak dan tebal. Rasanya, seperti melihat ada berjuta-juta kapuk yang di
jemur, dan terasa empuk untuk ditiduri. Sementara langit biru tanpa cacat.
Kontras dengan putih yang berjumlah
jutaan tadi.
“ Dalam hujan itu, aku berhasil sampai ke tempat ini. Di dekat pohon
besar itu, aku mendirikan tenda, “ katanya, menunjuk sebuah pohon besar berdaun
rindang beberapa ratus meter di sebelah kanan kami. “ Tempat ini, begitu sepi.
Hanya ada dua buah tenda yang masing-masing berjauhan. Penghuninya, pasti sudah
tertidur hangat dalam dekapan sleeping bag mereka masing-masing. Hujan memang
masih deras. Dan petir masih menyambar-nyambar. Jadi, rasanya godaan kantong
tidur lebih menyenangkan,”
Dia berhenti sejenak. Menyalakan rokok nya, kemudian menghembuskan
asapnya kuat-kuat. Menghisapnya lagi, dan menghembuskannya lagi. Beberapa kali,
sebelum kemudian kembali bercerita.
“ Tidak banyak yang aku lakukan hari itu. Setelah tenda berdiri. Aku
mengganti baju yang basah kuyup. Namun, tenda yang basah tentu saja tidak
nyaman. Tadinya aku mau lekas tidur. Namun, ternyata harus kerja bakti
sendirian mengeringkan tenda. Ketika malam datang, aku baru bisa benar-benar
terlelap”
“ Pagi harinya, langit membiru. Udara cerah luar biasa. Angin yang
menderu-deru semalaman seperti hilang ditelan hutan yang keramat. Pagi-pagi
sekali aku bangun. Beberapa pendaki sudah lebih dulu terjaga. Aku bergabung
dengan mereka di sungai kecil, mengambil air untuk membuat kopi. Ketika,
seorang pendaki berlari dari arah tempat kami masuk ke sini. Dia
berteriak-teriak. Tolong.. tolong ada yang sakit. Kami berhamburan menemuinya.
Mencari informasi lebih banyak tentang yang sakit. Untuk kemudian, kami dibawa
ke tenda mereka yang letaknya tidak
terlalu jauh dari pintu masuk, “ lanjutnya.
****
“ Kami tidak bisa berkomunikasi dengan dia mas, kondisinya lemah
sekali. Tadinya kami kira sudah mati, “
“ Dimana kalian menemukan dia,” saya penasaran.
“ Di jalur. Beberapa puluh meter sebelum tanjakan terakhir. Tubuhnya
menggigil semalaman. Kami kira, sudah tidak ada orang disini. Karena malam sepi
sekali. Dan hujan deras betul. Jadi kami putuskan untuk merawat dia, “
“ Berapa orang?”
“ Cuma seorang. Semalam dia sempat siuman, bisa diajak ngobrol. Katanya, dia mendaki kesini mau cari
kawannya, yang biasa kesini,”
“ Peralatannya lengkap?”
“ Lumayan. Kelihatannya dia sering mendaki gunung. Logistiknya lengkap
juga,”
“ Artinya dia pengalaman,”
“ Kelihatannya begitu, Mas”
****
Dia menghentikan ceritanya. Kelihatan gelisah kemudian mencopot
sepatunya. Entah apa yang akan dia perbuat. Saya hanya memperhatikan saja.
Tidak tahu kemana dia akan berlaku.
“ Kami berjalan tergesa. Setengah berlari menuju tenda anak itu. Dan,
ketika saya tiba di tenda anak yang minta pertolongan tadi, buru-buru aku dan
yang lain, yang aku sendiri tidak kenal satu-satu karena baru pertama kali
bertemu, tanpa menanyakan nama masing-masing, mendapati seseorang sedang tidur
dalam balutan sleeping bag. Tubuhnya rapat tertutup, hingga wajahnya. Sedang
tidur, kata seorang perempuan yang ikut menjaga dalam rombongan itu. Ada gelas
air teh, dan roti tawar disampingnya. Kata perempuan itu lagi, dia belum makan,
dari semalam. Meski sempat siuman dan minum beberapa teguk air teh hangat.
Kemudian kami ngobrol di depan tenda,” lanjutnya.
“ Hampir satu jam, kami disana. Namun, orang itu belum juga sadar.
Hingga penasaran, aku menyampaikan niatku untuk melihatnya lagi. Mereka setuju,
dan kami melihat keadaanya. Dia siuman. Dari dia, kami tahu kalau ternyata dia tidak
sendirian. Mereka naik bertiga dan terpisah ketika hujan petir kemarin. Dia ada
di posisi paling belakang. Namun, ternyata tidak ada satupun dari dua temannya yang
sampai kesini,” dia melanjutkan ceritanya.
“ Kami membawa dia turun, setelah kondisinya agak baik. Memaksa dia untuk
turun secepatnya. Meski dia bilang harus mencari temannya, namun kami semua tidak
setuju. Yang pasti, dia harus diselamatkan lebih dahulu. Dua kawannya itu, hidup,
meski dalam tanda kutip. Kemudian melaporkan hilannya dua pendaki kawannya kepada
petugas. Hanya sampai sana, pendakian ku. Tanpa ikut mengurus anak itu, karena sudah
ikut membawa dia turun, aku langsung pulang. Dua hari setelah itu, aku mendapat
kabar dari seorang kawan tentang kawan baikku yang mendaki dan belum kembali. Dan
ternyata, dia ada diantara dua pendaki, kawan dari orang yang kami bawa turun itu.
Setelah pencarian selama empat hari, kemudian aku mendapatkan kabar bahwa kedua
pendaki itu, sudah diketemukan. Tewas!”
Dan ketika mengatakan, Tewas, saya mendengar getir yang sangat pekat. Saya
membiarkannya menenangkan diri. Memberi nafas pada ucapan-ucapannya yang dari tadi
mengalir tanpa henti. Dan tidak berani bertanya apapun ... Bersambung (BMKR/261113)
Comments
Post a Comment