Gerimis turun lagi. Kali ini, disertai petir yang menggelegar dan
kilat yang menyambar-nyambar di ujung langit. Rasanya, mustahil memang untuk
melanjutkan perjalanan. Satu jam yang dari tadi diucapkan sudah lewat lima
belas menit. Dan benar saja, ini tidak seperti yang diharapkan.
“ Kita naik sedikit lagi yah, di sono ada tanah datar yang bisa bikin
satu tenda. Semoga belum ada pendaki lain yang nempatin,” dia ngoceh tanpa
berhenti. Saya yang sudah mulai letih tak menjawab omongannya. Menganggukpun tidak.
Rasanya itu bukan seperti bahan diskusi. Lebih seperti perintah yang tidak
maupun, memang harus mau.
“ Kok diem?” dia tiba-tiba bertanya, setelah lebih tiga puluh menit
kami mendaki.
“ Mau apa? Koprol? Salto?” saya menjawab berang. Membuka mulutnya lebar
dan dia tertawa terpingkal. Jengkel betul rasanya ditertawakan setelah
perjalanan jauh begini. Mana itu, satu jam yang sudah dijanjikan dari bawah
tadi. Rasanya seperti janji manis yan tak pernah ada buktinya. Dan tanah datar
yang dia sebut setengah jam yang lalu, belum juga muncul. Apa mungkin pindah?
Bah! Dia hanya mencoba untuk menghibur saya saja, batinku.
“ Lapanganya memang bukan disini. Tuh disana!” katanya kemudian.
Seperti tahu yang saya pikirkan. Dia menunjuk beberapa pohon besar yang umurnya
mungkin sudah ratusan tahun. Mana tanah datarnya? Masa iya berkemah dibawah
pohon setua itu? Saya yang tidak
berpengalamanpun, pasti ogah untuk berkemah disana dalam hujan begini. Kalau
pohonnya roboh, kalau dahannya patah dan menimpa kami. Ah, ngawur benar manusia
satu ini, saya membatin kembali.
“ Udah jangan ngedumel. Ayo jalan!” perintahnya, menuju ke pohonan
itu. Saya mengekor tanpa sepatah katapun. Kalau saja dia akan berhenti dan
mendirikan tenda disini, terpaksa saya harus melawan, pikirku.
Dan saya terkesima. Tanah datar yang dimaksud memang beberapa puluh
meter dari pohon-pohon raksasa itu. Membelah semak sedikit, dan sepetak dataran
itu terbuka. Pohon-pohon arbei berbuah merah mengelilinginya. Duri-durinya,
tentu saja sedikit menyulitkan. Pantas saja, tempat ini bersih betul. Kalau
bukan karena kebetulan, mana mungkin bisa kesini. Beberapa batang cantigi
setinggi satu meteran, bergerombol diantara perdu-perdu yang lebat. Namun,
tempat ini, sempurna sekali dari hantaman angin. Dan pemandangan kedepan sana,
luar biasa indahnya. Meski dalam mendung begini, saya bisa menyaksikan gugusan
pegunungan yang membentang dalam garis-garis siluet yang mempesona. Diantara
putih kabut yang menyelimuti, dan awan-awan kelabu yang mengapung diatasnya.
Saya terkesima.
“ Eh, monyet! Malah bengong.”
Dia membangunkan lamunan saya. Namun tidak berhenti tetap membongkar keril nya.
Mengeluarkan tenda dan menatanya, membelakangi pohon-pohon besar yang tadi kami
lewati. Gerimis masih turun.
“ Itu barat. Kalau cerah, dari
sini akan kelihatan sunset nya bagus,” dia menerangkan. Saya hanya ber-oh
singkat.
Magrib menjelang. Lembayung diufuk barat, tidak terlalu buruk. Udara
menjadi semakin dingin. Bunyi daunan yang begesek dihembus angin, seperti
nyanyian yang merdu di sore yang tenang ini. Ada dua cangkir kopi sudah diseduh
dalam gelas-gelas melamin berwarna merah. Kami berdua duduk didepan tenda.
Sebungkus rokok kretek dan sebungkus kacang kulit bersanding dengan gelas-gelas
kopi merah kami. Sedikit menggigil, saya meminum cairan hitam itu dengan rakus.
“ Pelan-pelan, bung! Belanda masih jauh,” candanya.
“ Bodo amat! Dingin!” nyinyir menimpali. Dan dia tertawa sekilas.
“ Masih mau tau, tentang manajemen perjalanan?” dia berubah menjadi
serius dengan pertanyaannya.
“ Boleh juga. Dari pada nggak ada obrolan, kan?” saya menimpali dengan
acuh tak acuh.
“ Ya sudah. Nggak jadi kalo gitu!” dia bangkit dari duduknya. Menepuk
celananya yang agak basah beberapa kali.
“ Ah. Penjahat!”
“ Lha, situ yang nggak mau tau. Ngapain gua ngomong capek-capek kalo
hasilnya lenyap ditiup angin. Sayang! Buang-buang energi,” katanya kemudian
masuk ke tenda.
Saya terdiam. Cuek dengan segala omongannya. Dalam keadaan begini, dia
tidak punya banyak pilihan. Kecuali bicara ke saya. Tidur di sore hari, ah,
saya cukup mengenal dia. Mana bisa dia tidur dibawah jam satu pagi. Rata-rata
jam tidurnya pasti lebih dari tengah malam. Prestasi hebat kalo dia bisa tidur
dihari menjelang magrib begini. Atau, dia mau berdiam diri di dalam tenda? Rasanya
itu juga bukan pilihan yang menyenangkan. Meski dia sedikit urakan, tapi jiwa
melankolisnya akan muncul menggebu-gebu manakala ada matahari terbenam dan
hembusan angin diketinggian. Ditambah kabut tipis melayang yang selalu dia
puja-puja dalam tulisan-tulisannya.
Ketika kami masih dibangku sekolah dulu, orang tuaku sering kali
ngamuk mendapati saya pulang malam di hari sabtu. Bukan karena saya membolos
sekolah, atau tidak ikut les bahasa inggeris yang diadakan setelah jam
pelajaran selesai. Tapi karena, saya dan dia sering kali “ngayab” dengan masih
pakai seragam, ke sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, untuk mengejar
matahari terbenam. Jaraknya dari rumah tidak terlalu jauh memang. Sekitar dua
puluh kilometer. Dan kami berdua selalu dapat tumpangan menuju kesana. Namun,
pulangnya, harus jalan kaki. Dan sudah pasti akan malam sampai rumah. Bapak
selalu menunggu didepan pagar dan akan ngamuk. Hingga emak yang akan menarik
tangan saya menyuruh mandi dan makan. Lepas itu, mereka pasti akan beradu
mulut.
Selepas SMU, dia masuk universitas negeri di Jakarta. Dia memang
termasuk pandai. Disana, dia berkenalan dengan dunia kepecintaalaman. Hingga
sudah lebih dari lima kali ikut ekspedisi yang diadakan kampusnya keliling
Indonesia. Dua kali ke luar negeri.
Dugaan saya benar. Dia keluar dari tenda, sudah dengan jaket merah yang
saya kenal betul. Sudah agak kumal dengan beberapa emblem yang dijahit rapi.
Namanya tersemat di dada sebalah kanan. Warisan, begitu katanya dulu ketika
saya tanya. Entah dari siapa. Tapi mestinya dari orang yang sangat berarti buat
dia. Saya menang! Teriak dalam hati saja.
“ Manajemen perjalanan itu,” dia membuka omongan,” kayak pondasi kalo
dalam bangunan. Dia cikal bakal terjadinya sebuah perjalanan. Kita harus atur
semua hal. Yang paling utama, kesiapan diri dalam perjalanan. Sehat jasmani
rohani. Itu juga termasuk dalam manajemen perjalanan secara mendasar, “ suaranya
terdengar pasti dan berwibawa, “ kemudian, baru masalah perlengkapan, kemudian
daerah tujuan, kesiapan tim, dan perlalatan yang mendukung lainnya,” imbuhnya.
“ Banyak juga yah yang perlu disiapkan!” saya berkomentar.
“ Perjalanan itu, bukan hanya menjelajah suatu tempat. Menjadi orang
pertama yang sampe ketempat itu. Namain tempat itu pake nama kita. Kemudian
hilang dan lupa. Kemudian nggak pernah pulang sampe kerumah. Mati disana!” dia
melanjutkan, “ tapi itu juga tentang kenyamanan. Keindahan alam, tidak bisa dinikmati
pada suasana yang tidak nyaman. Tempat ini, misalnya, tidak akan jadi menarik
kalo seandainya, kita tidak dalam keadaan yang nyaman dan hangat pake jaket
begini. Coba aja telanjang, terus duduk disini. Dijamin mengkerut lu,” dia
tertawa.
“ Begitu yah?” Cuma itu komentar yang keluar dari mulut saya. Rasanya
bingung, harus apa lagi yang dilontarkan. Dia seperti dosen galak yang tidak
terbantah sekarang.
“ Makanya, gua suka bawel kalo masalah persiapan ini itu. Sepatu,
wajib dipake. Kaki lu itu aset seumur hidup. Kalo pendaki gunung kayak elu
begitu,” dia menekankan kata “elu” seperti menuduh atau mencibir, entahlah, “ cuma
mao pake sendal jepit, ya ga usah naek gunung. Jualan cabe aja sono dipasar.
Bebas, mao pake apa aja. Gak ada yang atur. Di gunung, di perjalanan, kita
mengatur diri kita supaya nyaman dan bisa menikmati keindahan alam dengan
sempurna,” lanjutnya.
Dia memang ajaib. Pengalaman menempanya dari seorang anak semerawut
menjadi terpelajar begini. Meski dandanannya masih sama saja, dia mempunyai
bobot lebih di omongannya –bersambung – (bmkr/240114)
Lebih baik omongan yg berbobot, daripada yg fisik doang yg berbobot :D
ReplyDeletehmmm begitukah menurut anda? **nyengir
ReplyDelete