Hujan turun deras. Menyiram bumi
seperti miliyaran air mandi dari shower yang ditumpahkan dari langit. Beberapa
membentur tajuk-tajuk pohon yang tinggi menjulang diatas kami. Air hujan yang
kecil menerobos daun-daun hijau yang rindang, untuk jatuh ketanah. Menyiram
kami yang masih berjalan pelan menaiki jalan setapak berbatu yang sebagian tergenang
air. Meski jas hujan yang kami pakai cukup baik, namun kekuatan dan keluesan
air hujan masih tetap menerobos menembus badan kami yang mulai letih. Bercampur
keringat yang sepertinya enggan keluar dari pori-pori, terhalang dingin udara
yang menyelubung badan.
photo Koleksi Pribadi |
“ Capek?!” dia berhenti dan
menoleh kebelakang, ke arah saya yang berjalan lebih lambat.
“ Itu pertanyaan atau
pernyataan?” saya ikut berhenti. Beberapa langkah dibelakangnya. Memandang
badan nya yang kelihatan lebih jangkung dari sudut ini.
“ Itu pertanyaan, bodoh!” dia
tekekeh, “ gua sih gak capek. Lari juga masih sanggup!” namun tak ayal dia
mencari tempat yang dirasa nyaman untuk duduk. Melepaskan keril berukuran 70 liter
yang dibungkus cover bag berwarna biru tua, bertuliskan sebuah merk terkenal
luar negeri. “ kita ngopi dulu enak, nih..” lanjutnya yang tanpa meminta
persetujuan, kemudian mengeluarkan kompor kecil dengan bahan bakar spirtus dan
kopi instan yang kami bawa sebagai bekal.
Saya memandang sekeliling.
Menyaksikan daun-daun yang menjadi basah oleh guyuran hujan yang sudah menjadi
rintik, tidak selebat beberapa menit sebelumnya.
Perjalanan hari ini, hanya kami
berdua saja. Membelah belantara yang begitu hening. Tidak banyak orang yang
melakukan penjelajahan berdua saja, karena alasan keamanan. Bagi kami, semakin
sedikit yang berjalan bersama kami, rasanya semakin baik. Tidak harus ribed
mencocokkan segala macam tetek bengek yang remeh. Saya mengenalnya sejak masa sekolah, ketika dia pindah dari kampung halamannya di tanah Batak ke Jawa.
“ Mie rebus sekalian. Telor nya
ada di saya,” seketika saya ikut menambah pekerjaan buat dia.
“ Bangke! Bilang aja lapar!”
katanya, memaki, namun masih terus bekerja. Saya terkekeh bahagia.
Hujan, sudah benar-benar berhenti
ketika kopi dalam gelas melamin kami sudah hampir menyisakan ampas saja. Namun yang
datang kemudian adalah kabut tebal yang membungkus seluruh pepohonan. Badan kami
berdua seperti semut dalam genangan buih sabun ditengah danau. Pohon-pohon
membeku. Deru angin berhenti. Alam seperti tidur tak terdengar suara apapun. Seketika
hutan menjadi sangat sunyi.
Sambil mengekan jaket merahnya
dia menyuruh saya bergegas. “ posnya sudah tidak jauh lagi dari sini. Satu jam
lagi, kira-kira. Semoga kita masih bisa sampe sono sebelum gelap. Jam berapa
sekarang?” tanyanya tanpa menoleh.
“ Jam tiga lebih lima belas
menit. Kalau satu jam lagi, rasanya enggak sampe malem dong sampe sana,” saya
menimpali.
“ Jangan sok tahu! Kita dialam
liar. Waktu kadan
g-kadang bukan satu-satunya patokan perjalanan. Ada banyak hal tidak terduga yang akan terjadi depan sana dan tidak kita ketahui,” jawabnya dengan nada datar.
“ Lho, kamu yang bilang tadi kan,
Cuma satu jam?” saya membantah.
“ Itu teorinya. Dilapangan, semua
bisa saja jauh dari perkiraan. Disini, alam yang berkuasa. Kita tidak bisa
mengatur pergerakan matahari. Tidak bisa memerintahkan kabut untuk pergi dari
mengepung dan menggelapkan belantara. Jadi, tidak ada istilah bermain-main
dengan itu. Penjelajah yang paling jago sekalipun, hanya bisa merencakan, tapi
pada kenyataannya mereka menyerahkan segalanya kepada alam. Kepada kuasa yang
menciptakan alam, “ lanjutnya.
“ Begitu, yah?” saya bengong.
“ Iya! Begitu!” katanya, ketus. “
Sebagai penjelajah alam, kita sudah seharusnya merencanakan segala gal dengan
sangat teliti. Rencana perjalanan, sudah past mutlak kita punya. Dimana kita
akan bermalam, berapa lama kita akan berjalan, dan bagaimana medan yang akan
kita tempuh. Logistik harus sudah diprediksi dengan teliti juga. Jangan ala
kadarnya. Sudah bukan jamannya lagi kita menjadi penjelajah yang hanya
bergantung kepada alam. Kita sudah diberi kemudahan untuk mendapatkan makanan
dari sebelum kita berangkat. Pakai saja fasilitas itu. Jangan mentang-mentang
mengaku pencinta alam, kemudian kita menjadi lalai untuk menyiapkan itu semua.
Jangan mentang-mentang karena perjalanan hanya dua hari, kemudian menyiapkan
makanan seadanya. Itu jelas salah,” imbuhnya.
Saya mengangguk. Dia memang
selalu punya jawaban dari setiap pertanyaan saya tentang petualangan.
Pengalamannya jauh melebihi saya kemana-mana. Umurnya yang muda, tidak membuat
dia miskin pengetahuan. Saya ingat, ketika dia mati-matian menghubungi
kawan-kawannya para relawan gunung di Jawa Tengah, ketika kawan-kawan nya yang
naik, hilang dan belum diketemukan. Bukan hilang dalam hal sebenarnya, hanya
karena belum turun pada hari seharusnya mereka sudah berada dibawah. Meleset
dari jadwal yang sudah di tetapkan.
“ Kenapa diam?” tanyanya, melihat
saya yang masih terbengong mengingat kejadian-kejadian yang dia ceritakan
beberapa waktu yang lalu.
“ Eh.. nggak kenapa-napa. Hanya lagi
berfikir,” jawab saya.
“ Jangan kebanyakan mikir. Ayo
bergegas. Hari nggak bisa nunggu!” dia bergerak cepat. Memindahkan keril
beratnya kepunggung, kemudian mengencangkan ikatan pada pinggang.
Saya menyusul dibelakangnya.
Beberapa meter mengikuti langkahnya yang pelan dan pasti. Beberpa kali, saya
berhenti. Mengambil nafas dan menyeka keringat yang memaksa keluar dalam
dinginnya udara dan kabut yang masih memutih, mengisi sela-sela pohonan.
Seperti kapas halus yang dijejalkan pada batang-batangnya yang menjulang
menembus langit.
“ Ceritakan kepada saya, tentang
manajemen perjalanan, “ saya membuka obrolan, ketika sepi benar-benar
menyelimuti. Membisukan kami yang berjalan beriringan pada tanah basah dan
langit yang kembali mendung.
“ Apanya?” dia balik bertanya.
“ Ya itu, manajemen perjalanan.
Seperti yang tadi kau singgung-singgung terus. Apa itu manajemen perjalanan? Kenapa
jadi penting buat kita para pecinta alam?”
Dia terbahak. Saya bingung.
Kenapa manusia robot ini malah tertawa. “ Pecinta alam? Kamu itu pencinta alam?”
tanyanya.
“ Kamu juga, kan?” saya berkeras.
“ Gue?! Enggak! Mana pernah gue
bilang kalo gue pecinta alam?” jawabnya.
“ Ya,.. apalah itu namanya!” saya
menyerah. Kalau sudah begini, mustahil untuk bisa menang melawan dia.
Dan dia terkekeh. Berhenti
beberapa langkah didepan saya. Menarik nafas panjang. Kemudian mengeluarkan
rokoknya, dan menyulutnya. Menghisapnya pelan, dan menghembuskan asapnya, yang
sontak berbaur dengan putihnya kabut. Hilang dalam kabut yang sama putihnya.
Hanya bau tembakau yang masih lekat dihidung. Saya mengikuti, membakar sebatang
dan sama menghempaskan asapnya.
“ Benar? Pengen tau?”
Saya mengangguk. Menunggu dia
membuka mulut. (Bersambung )(bmkr/210114)
Iya, benar. Aku pengen tau
ReplyDeletePengen tau aja ato pengen tau bangets???
ReplyDelete