photo by @boimakar |
“ Lalu,” dia tiba-tiba bersuara, disela-sela seruputan kopi dan
hisapan rokok keretek yang asapnya mengepul memenuhi ruang kosang depan
mukanya, menjadi putih, diantara gelap yang makin pekat, sudah lewat magrib,
dan langit barat masih kelihatan memerah, berhias kelabu awan yang membentuk
garis-garis yang elok, “ kenapa lu neak gunung? Cari wangsit?” dia terkekeh.
Meski saya ikutan tertawa, namun hati rasanya tidak bisa membenarkan
pertanyaannya. Wangsit? Wangsit dari Hongkong! Batin ku. Namun, tidak urung,
pertanyaan itu, membangkitkan kembali kenangan-kenangan masa lalu yang
membentuk ini menjadi sebuah perjalanan. Rasanya, tidak siap mendengar kenapa
pertanyaan ini terlontar kembali. Meski saya tahu persis harus menjawab apa,
tapi nyatanya saya diam untuk beberapa waktu, hingga dia menegur dengan
melemparkan sejumput kulit kacang garing ke wajah saya. Reflek, saya menangkis
lemparan itu dengan tangan sembari mencondongkan badan ke kiri, dan menubruk
tenda yang tepat ada disamping saya. Dia terbahak.
“ Buset, ni anak!” celotehnya, “ ditanya begitu aja, jawabnya kayak
lagi mikirin negara. Biarin ajalah, negara mah udah ada yang mikirin. Presiden
ga ada kerjaannya kalo elu semua yang mikirin banyak hal,” tambahnya. Kembali
menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.
Memberanikan diri, saya membuka alasan saya, “ Saya mungkin tidak
seperti kamu, naik gunung untuk kesenangan, tidak!”
“ Lah, terus kenapa harus naek gunung, kalo emang enggak suka?”
“ Ceritanya panjang!” saya mengelak.
“ Dan kita punya waktu tiga hari, sampai perjalanan ini kembali ke
rumah masing-masing, bukan? Rasanya cukup untuk bikin cerita sinetron beberapa
episode, “ dia berkeras.
“ Tapi, pasti kamu bakal tertawa keras-keras, dan kemudian mengejek
saya, sesuka hati, dan kemudian menyebarkan cerita ini, pada semua orang,
dengan anonim, tapi menjurus dengan inisal-inisial. Saya rasa tidak siap
membayangkan itu,”
“ Eh, anak muda! Itu otak dicuci dulu, makanya. Jangan pikiran negatif
mulu yang ditanem. Sekali-kali, liat kek sisi positif gua sebagai teman lu.
Liat gua yang lain. Meski gua berantakan begini, emang lu pernah liat gua
bergosip dengan orang-orang. Rasanya, lu cukup tau kalo gua lebih sering
dibilang anti sosial karena nggak pernah bergaul seperti lu dan kawan-kawan
yang lain. Ga punya facebook, ga ada twitter, ga punya millist atau apapun. Gua
hidup untuk diri gua. Dan selama itu menjadikan gua nyaman, kenapa gua harus
mencari pembenaran pergaulan kesana-kemari. Rasanya, amat tidak masuk akal,
tuduhan itu diarahkan ke gua,” tukasnya. Nadanya meninggi dibeberapa bagian
ucapannya.
Aku menjadi kaku. Tidak siap kedua, untuk menerima kenyataan bahwa
semua yang diucapkannya adalah benar. Tidak ada satupun dari omongannya yang
baru saya terlontar adalah kebohongan. Bagaimana dia bergaul, bagaimana dia
punya jejaring sosial, bagaimana dia memposisikan kehidupan pribadinya menjadi
zona nyaman tidak terbantah. Semuanya seperti sebuah jembatan tanpa lampu yang
menghubungkan dua dunia. Siapapun yang berusaha lewat kesana, mestilah akan
jatuh dan tersesesat. Dan itu, hanya bisa dilewati sendiri oleh pembuat
jembatan itu. Dunia kelamnya, di ujung sana, tidak pernah tersentuh. Mungkin
itu tidak kelam, itu hanya misteri yang karena tidak pernah tersentuh orang
lain, terlihat seperti dunia hilang yang tidak kelam.
“ Eh, maaf. Saya tidak bermaksud begitu, “ kikuk aku menjelaskan.
Namun hanya kata-kata itu yang bisa keluar. Wajahnya tidak menyiratkan marah,
namuan dari tatapan matanya, ada sejumput kecewa yang dipendam dalam-dalam.
“ Kalem aja, Nyet! Gua paham,” katanya kembali seperti tidak pernah
terjadi apapun. “ Jadi, lu mao cerita kenapa lu naek gunung?”
“ Iya, iya... saya ceritakan. Abis makan, yah. Laper!” itu, cara
satu-satunya menghindar yang paling jitu. Dan seperti saya duga, dia akan
ngomel mengeluarkan kata-kata ajaib nya. Bahasa khas, yang sudah lebih dari
sepuluh tahun tidak saya dengar. Bahasa Dia!
Makan malam kami hari ini, ada tumis kacang panjang dengan irisan cabe
merah dan bawang putih yang di rajang halus. Sayur asem yang sedikit terlalu
asam. Dan telur dadar dengan mie instan yang dibuat menyerupai martabak. Wah,
meriah sekali. Porsinya, pas untuk tiga orang. Dan orang ketiga itu, tentu saja
dia. Karena porsi makannya lebih banyak dari saya. Meski sudah berkali-kali
dipaksa, saya tetap tidak bisa melanjutkan makan. Kenyang.
Kopi hitam hangat menjadi penutup. Perbincangan kami berkutat seputar
pengalamannya dia kembali. Dan topik yang paling menyenangkan, adalah bagaimana
kemudian dia bisa memasak dengan segitu detailnya. Keahliannya masak, didapat
karena dia sering tinggal sendiri. Jadilah dia belajar mengolah makanan dengan
cara-cara sederhana. Kemudian, karena mendaki gunung, juga adalah olah raga
yang perlu banyak energi, tidak cukup hanya dengan asupan sereal instan dan mie
instan, maka memasak makanan yang cukup gizinya menjadi wajib. Bagaimana
pendakian gunung itu menjadi menyenangkan, kalau kita kurang tanaga, begit
katanya. Dan bagaimana itu bisa jadi pengalaman tidak terlupakan, kalau kita
tidak bisa mengingat apapun karena kekurangan energi untk menyaksikan segala
keindahan alam yang disajikan. Masuk akal sekali.
“ Jadi, kenapa lu naek gunung?” pertanyaanya kembali lagi, “ putus
cinta? Atau mencari jati diri, sama seperti orang-orang itu?” katanya, ketus.
photo by @boimakar |
“ Begitulah! Meski bisa dikata tidak tepat,” jawabku diplomatis.
“ Lho? Maksudnya, putus cinta? Atau pencarian jati diri?” tukasnya.
Apalagi yang bisa aku sembunyikan dari manusia ajaib ini. Rasanya,
tidak mungkin untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Dan meski ini bukan
kisah yang menyenangkan, sepertinya memang harus aku sampaikan. Cukup lama,
tidak pernah ada orang yang bertanya alasan ini, tapi, rasanya dia tulus. Bukan
bermaksud mengejek, atau hanya mencari bahan obrolan saja. Masing-masing orang,
tentu saja punya alasan melakukan sesuatu. Tidak terkecuali dia. Karena suka
mendaki, mencintai bau tanah, bau hijau pepohonan, kelembaban nisbi yang hanya
bisa didapat dari membusuknya daunan yang jatuh alami ketanah.
Alam, memang menyediakan segalanya. Ia adalah obat dari segala macam
penyakit yang ada di muka bumi. Adalah jawaban, dari segala pertanyaan yang
terlontar tentang hidup dan kehidupan. Tidak ada pencarian yang tidak bisa
ditemukan di alam. Pelajaran apapun ada disini. Urusan apapun, bisa dengan
mudah kita selesaikan. Intinya, jangan pernah melawan alam.
Ia, juga adalah syair-syair yang dipuisikan pujangga-pujangga dunia
karena keindahan dan hebatannya. Ia juga menjadi inspirasi tidak terbendung,
bagi nyanyian yang dilagukan berjuta-juta penyanyi didunia. Lukisan yang tidak
pernah berhenti di goreskan pada kanvas dan menjadi pajangan miliaran
dinding-dinding dibumi. Dari rumah dipedesaan hingga ke kastil kerajaan dan
istana presiden yang megah. Coba jujur. Kemana kita pergi akhir pekan? Ke pantai
atau ke gunung? Menyaksikan ombak lautan yang hanya itu-itu saja sepanjang
waktu, seperti tidak pernah membosankan. Menyematkan diri dalam kabut, dan membekukan
bulu kuduk dengan disengaja, seperti memacu adrenalin sendiri. Adalah kita yang
perlu dengan alam. Kita ingin melihat hijau nya daunan, tetap hijau. Kita ingin
menyaksikan ombak tetap manjadi ombak. Kita mau menyaksikan kabut tetap putih
dan dingin.
“ Dan aku, kenapa mendaki gunung?”
“ Iya!” kenapa?”
“ Karena aku tidak mau mati, dalam penyesalan. Tidak pernah menjadi
diriku sendiri!”
Dia tersenyum. Menepuk pundakku. Mengangkat gelas kopinya, dan berucap
pelan, “ selamat belajar dari sekolah tanpa diploma!” .. –selesai -- (bmkr/24314)
Well, sekarang gelar bisa dibeli lho. Pengalaman yang tidak bisa.
ReplyDeletewell, hari ini saya setuju dengan anda... :)
ReplyDelete