Bulan sepertinya enggan benar muncul kemudian.
Hanya bintang-bintang
yang kedap kedip dari angkasa. Bertanda cerahnya malam. Sosok bulat itu
sendiri, malu-malu menyembul dari awan yang kemudian berlari keawan lain.
Kunang-kunang beterbangan disekitar rimbunan bambu depan tendaku. Gemeretak
kayu yang diinjak dibelakang tenda, berganti dengan sesosok tubuh tinggi yang
perlahan jongkok.
“ Maaf, apa boleh saya ikut ngobrol disini?”
Saya yang terperanjat, memegang garpu makan itu kuat-kuat. Cukup untuk
membala diri, ketika memang hal buruk terjadi. Saya mengangguk. Lelaki itu
tersenyum. Kemudian mengambil beberapa kayu kering yang berserak tidak jauh
dari tenda. Dan membakarnya, menjadikan api unggun. Terampil sekali, pikirku.
Dia menambahkan beberapa potongan kayu yang cukup besar, sambil berkata, bahwa
cukuplah untuk menemani kami ngobrol hingga malam nanti.
“ Sudah makan?” saya bertanya. Membuka suasana. Dia menggeleng, tapi
menolak ketika saya akan buatkan makanan. Namun, saya tetap memasak air, dan
menghangatkan sup jagung yang saya sisakan tadi.
“ Wah, bisa gemuk saya kalo campingnya begini,” katanya berseloroh.
Saya masih waspada.
Meski udara sekarang bertambah hangat, karena perapian kecil itu,
namun gemetar badan saya, masih belum hilang juga. Pikiran-pikiran saya masih
kalut. Antisipasi dan waspada kepada apapun yang akan terjadi disini.
“ Kenapa sendirian?” dia bertanya. Disela sup nya yang masih panas,
dan harus ditiup sebelum masuk kemulut.
“ Kenapa harus ramai-ramai?” saya menjawab.
Dia tertawa. “ Iya, benar juga. Kenapa harus ramai-ramai. Kalau bisa
sendiri. Kalau sendiri lebih nyaman, “ kemudian menyesap kembali sendok berisi
sup yang sudah mendingin.
“ Sering, pergi sendirian begini?” katanya lagi. Saya mulai bosan di
korek-korek, namun apa daya, hanya dia teman malam ini. Setidaknya, kawasan
yang tidak saya kenal ini, jadi ada kawan ngobrol.
“ Nggak juga. Cuma seringnya ya begini. Kalo lagi malas rame-rame,
saya pasti pergi sendiri,” timpalku.
Dia menghirup air minumnya, kemudian menarik nafas berat,” rasanya,
tidak ada yang lebih membahagiakan daripada kesendirian dalam belantara. Ketika
mata batin dan naluri terbuka justru karena memang harus terbuka. Ketika
insting terasah, bukan karena dipaksa, namun karena dia membuka dengan
pengalaman dan latihannya. Yang dipaksa, biasanya akan cepat sekali hilang. Namun
yang dengan sendirinya, biasanya dia bertahan sampai kapanpun,” celotehnya
lagi.
Dia terdiam sejenak. Kemudian membakar rokoknya dan menawarkan kepada
saya. Saya menolak dan mengambil milik saya sendiri. Meski sama. Tapi rasanya
lebih aman.
Suasana menjadi hening. Hanya hempasan asap rokok kami yang silang
menyilang diudara terbuka. Gemeretak kayu yang terbakar diperapian, menjadi
sangat mistis. Nun jauh, terdengar bunyi burung hantu. Lama-kelamaan suaranya
semakin pudar.
“ Dibagian lain, hutan ini, kamu tidak akan bisa mendengar nyanyian
burung hantu seperti tadi, “ katanya.
“ Kenapa? Bukanya burung hantu memang hewan malam?”
“ iya betul. Maksud saya, di bagian lain, burung hantunya sudah nggak
ada. Pergi. Hanya disini dan dibeberapa tempat saja, masih bisa di temui.
Celepuk Gunung, sudah sangat langka sekarang. Kamu pernah melihat celepuk
gunung?” tanyanya.
Saya menggeleng, tidak pasti, “ rasanya belum”
@boimakar |
“ Celepuk Gunung, atau Otus Angelinea hanya ada di Indonesia. Kalo
malem matanya merah, kayak hantu. Mungkin itu sebabnya, burung seperti itu
disebut burung hantu. Tingginya Cuma 20cm. Ini hewan indonesia asli. Kamu harus
tau itu,” katanya.
Saya tergugu. Wah, tau banyak tentang burung rupanya dia. Iseng, saya
pancing dia dengan pertanyaan, “ wah, emang ada berapa banyak burung hantu di
Indonesia?”
“ Kalau jumlahnya, tentu saya nggak tau. Belum sempet ngitung. Tapi
kalo jenisnya, ya sekitar ada 14 jenis. Dari yang masih ada, sampai yang sudah
mau punah. Kayak Celepuk Gunung itu,” dia menambahkan.
“ Kalau tau, coba sebutkan!” tantang saya.
“ Ini ngetes, tho?” dan dia tertawa terbahak, “ sudahlah, lain kali
kalo ketemu lagi, kita bahas tentang burung hantu itu, “ katanya, dan melanjutkan
tertawanya. Saya merasa terjebak, dan minta maaf.
“ Kamu tahu, kenapa kunang-kunang bercahaya?” tanyanya, setelah reda
tawanya.
Saya menggeleng.
“ Kunang-kunang bercahaya, salah satunya untuk menyampaikan signal
bahaya kepada yang lain. Untuk saling mengenali. Dan masih banyak lagi yang
lain. Begitu pula, kayu bakar yang kita nyalakan ini. Untuk menyampaikan signal
bahaya dan tanda saling mengenal,” suaranya menjadi lirih. Dan matanya,
berputar-putar menyapu daerah-daerah gelap yang ada disekeliling kami.
“ Maksudnya?” saya menjadi gelisah.
“ Tak apa. Jangan kuatir. Waspada saja,” katanya. Namun kali ini lebih
tenang, sambil membakar kembali rokoknya.
Bmkr – (050514)
Comments
Post a Comment