Skip to main content

Perjalanan 2 : Burung Hantu & Kunang-Kunang

Bulan sepertinya enggan benar muncul kemudian.

Hanya bintang-bintang yang kedap kedip dari angkasa. Bertanda cerahnya malam. Sosok bulat itu sendiri, malu-malu menyembul dari awan yang kemudian berlari keawan lain. Kunang-kunang beterbangan disekitar rimbunan bambu depan tendaku. Gemeretak kayu yang diinjak dibelakang tenda, berganti dengan sesosok tubuh tinggi yang perlahan jongkok.

“ Maaf, apa boleh saya ikut ngobrol disini?”
 
photo istimewa


Saya yang terperanjat, memegang garpu makan itu kuat-kuat. Cukup untuk membala diri, ketika memang hal buruk terjadi. Saya mengangguk. Lelaki itu tersenyum. Kemudian mengambil beberapa kayu kering yang berserak tidak jauh dari tenda. Dan membakarnya, menjadikan api unggun. Terampil sekali, pikirku. Dia menambahkan beberapa potongan kayu yang cukup besar, sambil berkata, bahwa cukuplah untuk menemani kami ngobrol hingga malam nanti.
“ Sudah makan?” saya bertanya. Membuka suasana. Dia menggeleng, tapi menolak ketika saya akan buatkan makanan. Namun, saya tetap memasak air, dan menghangatkan sup jagung yang saya sisakan tadi.

“ Wah, bisa gemuk saya kalo campingnya begini,” katanya berseloroh. Saya masih waspada.

Meski udara sekarang bertambah hangat, karena perapian kecil itu, namun gemetar badan saya, masih belum hilang juga. Pikiran-pikiran saya masih kalut. Antisipasi dan waspada kepada apapun yang akan terjadi disini.

“ Kenapa sendirian?” dia bertanya. Disela sup nya yang masih panas, dan harus ditiup sebelum masuk kemulut.
“ Kenapa harus ramai-ramai?” saya menjawab.
Dia tertawa. “ Iya, benar juga. Kenapa harus ramai-ramai. Kalau bisa sendiri. Kalau sendiri lebih nyaman, “ kemudian menyesap kembali sendok berisi sup yang sudah mendingin.

“ Sering, pergi sendirian begini?” katanya lagi. Saya mulai bosan di korek-korek, namun apa daya, hanya dia teman malam ini. Setidaknya, kawasan yang tidak saya kenal ini, jadi ada kawan ngobrol.
“ Nggak juga. Cuma seringnya ya begini. Kalo lagi malas rame-rame, saya pasti pergi sendiri,” timpalku.

Dia menghirup air minumnya, kemudian menarik nafas berat,” rasanya, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada kesendirian dalam belantara. Ketika mata batin dan naluri terbuka justru karena memang harus terbuka. Ketika insting terasah, bukan karena dipaksa, namun karena dia membuka dengan pengalaman dan latihannya. Yang dipaksa, biasanya akan cepat sekali hilang. Namun yang dengan sendirinya, biasanya dia bertahan sampai kapanpun,” celotehnya lagi.

Dia terdiam sejenak. Kemudian membakar rokoknya dan menawarkan kepada saya. Saya menolak dan mengambil milik saya sendiri. Meski sama. Tapi rasanya lebih aman.

Suasana menjadi hening. Hanya hempasan asap rokok kami yang silang menyilang diudara terbuka. Gemeretak kayu yang terbakar diperapian, menjadi sangat mistis. Nun jauh, terdengar bunyi burung hantu. Lama-kelamaan suaranya semakin pudar.

“ Dibagian lain, hutan ini, kamu tidak akan bisa mendengar nyanyian burung hantu seperti tadi, “ katanya.
“ Kenapa? Bukanya burung hantu memang hewan malam?”
“ iya betul. Maksud saya, di bagian lain, burung hantunya sudah nggak ada. Pergi. Hanya disini dan dibeberapa tempat saja, masih bisa di temui. Celepuk Gunung, sudah sangat langka sekarang. Kamu pernah melihat celepuk gunung?” tanyanya.
Saya menggeleng, tidak pasti, “ rasanya belum”
@boimakar
“ Celepuk Gunung, atau Otus Angelinea hanya ada di Indonesia. Kalo malem matanya merah, kayak hantu. Mungkin itu sebabnya, burung seperti itu disebut burung hantu. Tingginya Cuma 20cm. Ini hewan indonesia asli. Kamu harus tau itu,” katanya.

Saya tergugu. Wah, tau banyak tentang burung rupanya dia. Iseng, saya pancing dia dengan pertanyaan, “ wah, emang ada berapa banyak burung hantu di Indonesia?”

“ Kalau jumlahnya, tentu saya nggak tau. Belum sempet ngitung. Tapi kalo jenisnya, ya sekitar ada 14 jenis. Dari yang masih ada, sampai yang sudah mau punah. Kayak Celepuk Gunung itu,” dia menambahkan.

“ Kalau tau, coba sebutkan!” tantang saya.
“ Ini ngetes, tho?” dan dia tertawa terbahak, “ sudahlah, lain kali kalo ketemu lagi, kita bahas tentang burung hantu itu, “ katanya, dan melanjutkan tertawanya. Saya merasa terjebak, dan minta maaf.

“ Kamu tahu, kenapa kunang-kunang bercahaya?” tanyanya, setelah reda tawanya.
Saya menggeleng.
“ Kunang-kunang bercahaya, salah satunya untuk menyampaikan signal bahaya kepada yang lain. Untuk saling mengenali. Dan masih banyak lagi yang lain. Begitu pula, kayu bakar yang kita nyalakan ini. Untuk menyampaikan signal bahaya dan tanda saling mengenal,” suaranya menjadi lirih. Dan matanya, berputar-putar menyapu daerah-daerah gelap yang ada disekeliling kami.

“ Maksudnya?” saya menjadi gelisah.
“ Tak apa. Jangan kuatir. Waspada saja,” katanya. Namun kali ini lebih tenang, sambil membakar kembali rokoknya.

Bmkr – (050514)

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny