Sore Jakarta | Photo by @boimakar |
Beberapa hari ini, rasanya Transjakarta Busway, menjadi sangat tidak
bersahabat. Prilaku orang-orang yang naik, suasana halte yang semerawut, hingga
oknum-oknum petugas yang terkesan cuek dan tidak ambil pusing dengan keadaan
calon penumpang dan laporan hal-hal yang terjadi.
Saya dan istri, kerap kali harus menggunakan sarana transportasi umum
untuk berangkat dan pulang bekerja. Hampir pasti, setiap hari, kami harus
berjibaku untuk bisa sekedar masuk dan berdiri didalam armada transjakarta.
Kami berangkat, dari halte transjakarta LIA Pramuka, di koridor 4 yang
mengubungkan Pulo Gadung – Dukuh Atas. Untuk kemudian, berpindah ke koridor 1,
menuju Blok M. Dan pulang dengan rute sebaliknya.
Kurang dari jam 6 pagi, kami sudah ada didalam halte Transjakarta Lia
Pramuka. Beberapa kali, di halte BPKP, karena posisi rumah kami, yang ada
diantara kedua halte tersebut. Menunggu armada bus disini, rasanya lebih sering
menjengkelkannya dari pada senangnya. Yang pasti sudah akan terjadi adalah, bus
penuh. Rasanya, ajaib bila di halte ini, ada kursi kosong dalam bus yang bisa
kami temukan. Sudah dari ujung Pulo Gadung sana, atau dari TUGas bus akan penuh
sesak, -sesekali memang kosong.Artinya kami harus berdiri. Tapi, dari sepuluh
yang lewat, anggap lah ada satu yang berkondisi seperti ini -.
Kerap kali, karena keadaan itu, kami memutuskan untuk memutar arah
dulu, sampai halte TUGas. Karena, pemberangkatan bus koridor 4, ada juga yang
dari sini. Alasannya, supaya bisa mendapatkan tempat duduk. Pagi hari sepanjang
jalur jalan Pramuka, tidak serta merta menjamin ketepatan waktu perjalanan
menjadi lebih singkat. Meski transjakarta sudah diberi lintasan khusus. Tetap
saja, mobil-mobil berplat hitam, atau sering kali merah, hijau kadang-kadang,
masuk menerobos lintasan. Belum lagi pengendara sepeda motornya. Walhasil,
sepanjang jalur itu, seperti tidak ada bedanya dengan jalan lain. Transjakarta,
seperti tidak berkutik. Tak ada petugas jaga yang melarang mobil-mobil melintas
di jalur itu. Bisa dipastikan, volume kendaraan akan berubah lebih padat, pada
jam diatas pukul enam pagi.
Penuh, bukan satu-satunya masalah. Transjakarta Busway, memang armada
yang dibenci sekaligus diminati. Di maki-maki sekaligus dipuji-puji.
Jembatan Koridor | Photo by @boimakar |
Keterlambatan datang, kemudian menjadi permasalahan berikutnya. Kami,
para pekerja yang harus berburu dengan waktu, seperti sport jantung, -deg deg
an- bila armada yang ditunggu tidak kunjung muncul. Dan kalau ada, sudah hampir
bisa dipastikan penuh. Pada pagi dan
sore hari, armada bus seperti menghilang. Hanya ada beberapa unit saja yang
nampak. Barangkali, ini perkataan orang kecewa. Kenyataannya, kerap kali, kami
harus menunggu hingga berpuluh menit untuk bisa melihat armada berikutnya. Itupun,
tidak menjamin bisa ikut naik. Antrian penumpang akan mengular. Coba saja
tengok halte Dukuh atas menuju Pulogadung pada sore hari setelah jam pulang
kantor. Antrian, bisa sampai diatas jalan Jendral Sudirman. Fantastis. Mungkin
karena tidak tertib tadi itu, makanya jalannya terhambat. Belum lagi, ketika
bus datang, penumpang saling dorong, berebut masuk. Berebut tempat duduk. Saya,
yang memang tidak peduli dengan tempat duduk, sering kali tertahan dibelakang,
karena yang dibarisan depan tidak mau menepi untuk memberi jalan. Mereka “mager” saja dipintu masuk halte.
Sementara kami, tak bisa menerobos kedepan. Kondektur transjakarta pun, relatif
masa bodo. Ketika sudah tak ada yang naik, dia akan menutup pintu dan melaju.
Beranggapan tidak lagi ada yang naik. Padahal, kami dibelakang akan rela
berdiri, untuk pulang.
Dibeberapa bagian, jalur koridor 4 memang berpotongan dengan jalur
kendaraan lain. Tidak ada separator yang memisahkan jaluar transjakarta. Di
Manggarai, di sebelum lampu lalu lintas
Matraman, contohnya. Karena ruas jalan yang menyempit, membuat tidak mungkin
untuk diadakan separator seperti jalur yang lain. Jarak yang 11.85KM sepanjang jalur koridor 4
dengan menyinggahi sebanyak 17 halte ini, kemudian menjadi terasa sangat
panjang. Padahal jika diukur jarak, hampir sama dengan Koridor 1, Blok M – Kota
yang 19 halte sepanjang 12.9KM.
Halte Transjakarta | Photo by @boimakar |
Penambahan bus armada transjakarta, beberapa waktu lalu, nampaknya
belum juga jadi solusi. Kepadatan pada titik-titik penjemputan atau halte
seperti kaset yang terus menerus diputar, hingga kita bosan mendengarnya. Halte
sentral Harmoni, Dukuh Atas, Blok M. Ratusan orang mengular, dijam-jam tertentu
hingga membuat nyaman menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk dinikmati di moda
transportasi yang konon, sangat dianjurkan ini. Ada Rp.1.7 triliun yang sudah
dikeluarkan untuk penambahan armada. Namun, nampaknya masih belum cukup untuk
menampung animo masyarakat yang memang rindu transportasi mudah dan nyaman.
Jangan tanya, fasilitas yang ada di masing-masing halte. Rasanya, tak
ada informasi yang cukup baik untuk orang yang baru sekali dua kali naik
transjakarta. Satu-satunya cara paling efektif adalah bertanya kepada penumpang
lain, atau kepada petugas. Di halte Blok M misalnya, sudah tak ada lagi layar
televisi yang dulu dipasang untuk papan informasi kedatangan dan keberangkatan
bus. Demikian pula pada jalur-jalur yang
lain. DI koridor 4, televisi-televisi itu, dipasang dengan layar yang
senantiasa hitam. Tidak menyala. Sesekali memang berfungsi. Namun, tidak ada
yang pasti, kapan bisa kontinyu.
Kipas angin, juga kerap kali tidak beroperasi. Saya, pernah bertanya kepada salah seorang petugas di halte Dukuh Atas menuju Pulo Gadung, minta dinyalakan kipas anginnya, karena sudah sangat panas, dan penuhnya halte. “ Kipas nya mati pak,” begitu jawabnya. Ketika saya lanjutkan bertanya dari kapan, enteng dia menjawab, baru beberapa hari. Padahal, saya naik dari rute ini, sudah hampir setahun, dan tidak ingat, kapan terakhir kipas itu menyala. Kecurigaan saya juga bertambah, kepada CCTV yang entah, itu berfungsi atau tidak.
Dihari lain, di halte yang sama, saya meminta petugas halte Dukuh Atas
untuk menertibkan penumpang-penumpang yang mengantri pada pintu keluar di
koridor 4. Di halte ini, pintu keluar dan pintu masuk bus, memang bersebelahan.
Dan pintu itu, biasanya dijadikan pintu masuk untuk penumpang prioritas, ibu
hamil, lansia, orang dengan kebutuhan khusus, maupun yang membawa anak kecil.
Hari itu, saya melihat banyak penumpang dengan badan sehat dan masih muda,
laki-laki dan perempuan, menunggu dipintu itu. Ada dua petugas disana.
Hebatnya, ketika saya minta itu ditertibkan, dia hanya menoleh kearah saya,
menyimak, kemudian pergi. Tanpa ada penjelasan apapun. Sementara antrian kami
sudah mengular, panjang sekali.
menunggu bus datang | Photo by @boimakar |
Saya pernah juga menegur anak-anak remaja, yang membuka plastik belanjaan,
dan mebuang sampah kertas lebel pakaian mereka tepat di depan saya. Dan pernah
pula, mengingatkan seorang lelaki remaja, yang minum dengan santai didalam bus,
setelah ada pembagian minuman gratis di halte Bendungan Hilir, bahwa didalam
bus tidak boleh makan dan minum. Ada stiker warna hitam gelap, yang tidak
terlalu jelas jika dilihat sekilas, tentang aktifitas yang dilarang dilakukan
didalam bus.
Kalau anda berfikir bahwa tindakan kejahatan tidak terjadi disini,
anda keliru. Sering kali penumpang mengadukan kehilangannya. Handphone dan
dompet yang paling sering. Berdesakan seperti itu, membuat pengawasan
terhadap barang-barang pribadi menjadi
longgar. Dan tangan-tangan jahil, sudah pasti memburu kesempatan untuk
mengambil moment itu. Di tangga halte masuk Blok M, beberapa pengemis duduk
manis, meminta uang dari para penumpang. Herannya, akses untuk menuju kesana,
hanya dari barier/gate masuk nya saja. Dan harus membeli tiket pula. Logikanya,
mereka membeli tiket, dan duduk di tangga itu, kemudian mengemis, tanpa
ditertibkan oleh petugas-petugas yang ada.
Ketika ada model uang elektronik, dengan kartu isi ulang, saya merasa
sangat terbantu. Dijam-jam sibuk, antrian pembeli tiket pun akan sangat
panjang. Dihalte Blok M, pernah saya harus mengantri untuk membeli tiketnya saja. Sampai-sampai,
di barier/gate masuknya, di tutup sementara, karena penumpang yang didalam,
sudah penuh sekali. Busnya terlambat datang, begitu kata petugasnya. Entah
karena macet, atau ada hal lain, tidak ada penjelasan. Kartu ini, juga bisa
kita pakai, kalau hendak naik kereta api
komuter. Tinggal tempel di gerbang masuk, dan tempel digerbang keluar. Tidak
perlu antri tiket dan antri penukaran uang jaminan. Cukup praktis dan cepat.
tertidur halte blok m| Photo by @boimakar |
Namun, nyatanya model uang ini pun, tidak semuanya diakomodir oleh
halte-halte tranjakarta. Di Koridor 4 saja, hampir tidak ada saya temui yang
bisa menggunakan kartu uang itu. Semuanya harus sistem tunai. Di koridor 1,
Blok M – Kota, ada beberapa tempat yang lambat sekali merespon kartunya. Di halte
Tosari misalnya. Harus berkali kali menempelkan, baru bisa terbaca. Kata
petugasnya, disini memang “lemot” kalau pakai kartu itu. Namun, di halte
pemberangkatan awal Blok M pun, nasib nya sama. Saya sudah coba ganti dengan
kartu yang lain, takutnya memang kartu saya yang masalah. Namun nyatanya sama
saja. Jadilah, ini kemudian tidak terakomodir dengan baik. Ide cemerlang
begini, tidak tuntas ditindaklanjuti.
Belakangan, kami mencoba alternatif lain, Bus PPD jurusan Rawamangun –
Slipi No. 210 untuk Non AC, atau PPD No. 11 untuk yang AC. Tarifnya,
masing-masing Rp.3000 dan Rp.7000. Rutenya memang berbeda. Dari jalan pramuka
dia akan berbelok ke jalan proklamasi, kemudian Imam Bonjol dan masuk Jalan
Sudirman. Jam berangkatnya, rata-rata sama. Pukul 6 pagi, paling lambat pukul 6
lewat 10 menit untuk PPD 210 dan sepuluh menit berikutnya untuk PPD 11.
Uniknya, di bus ini, penumpang nya setiap hari sama. Saya dapat pasti mendapati
seorang pria muda duduk di kursi barisan belakang sekali, sendirian, atau mas dan
mbak yang selalu duduk didepan kursi kami. Ada ibu setengah baya dan anak
gadisnya yang menunggu dari pasar genjing, atau pria tambun yang berlarian
kerap kali, di dekat perlintasan kereta api dekat pasar Pramuka.
Meski cukup membantu, karena jadwal yang pasti, kenyamanan nya tetap
saja berbeda. Pada pukul 5 pagi – sampai 7 pagi, armada transjakata bertatarif
Rp.2000. kemudian Rp.3500 pada setelah pukul 7 pagi hingga malam. Ongkosnya
lebih mahal sedikit pada jam itu. Armada yang sudah renta, membuat bus itu,
kadang menjadi sangat tidak nyaman. Ada bau kopling terbakar. Atau asap knalpot
yang tiba-tiba tercium sampai ke dalam.
Transjakarta, menjadi harapan transportasi modern ditengah
semerawutnya moda pengangkutan di Jakarta. Menjanjikan kenyamanan dan ketepatan
waktu, dengan jalur yang sudah pasti. Serta ongkos yang murah. Dengan Rp.3500
untuk harga normal, pendingin bus menyala terus menerus, transjakarta Busway,
menjadi sangat menggoda untuk dinaiki.
Tentu saja tidak semuanya buruk. Ada kalanya, transjakarta adalah alat
transportasi yang sangat menyenangkan. Tidak perlu berdesak-desakan, pendingin
yang nyala terus, jalanan yang steril dari kendaraan-kendaraan pribadi, pernah
juga ditemui. Meskipun, jarang sekali merasakan hal seperti ini.
Dari berita yang dilansir antaranews.com pada 30 Desmber 2013, saat
ini ada 416 unit bus transjakarta, padahal idealnya ada 1.289 unit. Akhir 2013,
ada penambahan bus dari China sebanyak 873 unit. Yang kemudian hari menjadi
sorotan karena kualitas bus yang buruk. Pengadaan armada transjakarta pada 2014, di
anggarkan dalam RAPBD sebesar Rp. 3 triliun. Jumlahnya mencapai 4.000 unit.
Akankah, tata kelola transjakarta, menjadi lebih baik?
(bmkr 05/06/14)
Comments
Post a Comment