Skip to main content

Lelaki: Anjing Dalam Kelas


Aku mendengarkan kata-katanya dengan seksama. Memilih nya satu-satu kemudian mencoba merangkainya dengan kata-kataku sendiri. Tidak. Aku tidak sanggup. Perbendaharaan kataku tidak akan mampu mengingat atau merangkai kata seperti yang baru saja dia lontarkan. Terlampau sulit. Mungkin juga kasar dan tak beraturan.

Ruang kelas itu mendadak sepi. Perempuan yang selama ini menyebut dirinya pengajar itu, mengibas rambutnya, kemudian duduk pada kursi. Terdengar bunyi derik, ketika tubuh tambunnya menghantarkan massa pada permukaan dudukan kursi. Menjerit.

" Ada lagi yang mau disampaikan?" tantangnya dengan muka datar. Sekejap hening kembali mengisi ruang. Ada lebih dari lima belas orang termasuk dirinya didalam ruang itu. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri. " Jika masih, gua kasih kesempatan kalian untuk bicara. Kalau tidak, gua yang akan bicara," lanjutnya kemudian.

Hening.

"Saya akan meneruskan yang tadi. Tentang persiapan event kita yang Sabtu nanti kita laksanakan. Jika masih boleh," aku menyela. Memecah keheningan yang semakin larut. Perempuan itu mempersilahkan.

Aku kembali menerangkan tentang rundown event yang akan kami helat pada Sabtu mendatang. Satu demi satu, rangkaian peristiwa yang sudah aku prediksi terjadi aku bongkar. Kesiapan ruangan dan dekorasi yang akan dipasang pada hari itu, hingga kepada antisipasi parkir dan kemungkinan penggunaan kabel-kabel yang menyulitkan flow acara. Ruang-demi ruang dibahas dengan teliti. 

" Itu saja!" Aku mengakhiri pemaparanku, "jika ada yang mau menambahkan, silahkan."

Semua orang didalam merasa tegang. Udara menjadi sesak. 

" Keputusan gua, " Perempuan Pengajar itu bersuara kembali akhirnya, " adalah gua tidak akan melakukan penilaian terhadap event kalian ini. Itu final! Kalian itu seperti Anjing! Nggak tau sopan santun. Slanang-slonong. Gak ada penghargaan sama orang dan .... .... .... ..... " ujarnya panjang lebar.

Detik selanjutnya, Aku sudah tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Kepalaku pusing. Membayangkan bahwa nara sumber sudah dikontak dan dikonfirmasi. Membayangkan tempat yang harus dibatalkan, Peserta yang sudah membayar dan harus dibilang satu hari sebelum acara bahwa acara kami ditunda atau tak jadi dilaksanakan. Pikiranku tiba-tiba buntu. Pikiran yang lain, aku tidak tahu. Aku buntu.

" Saya akan tetap menjalankan event ini. Sudah kepalang tanggung. Terserah kawan-kawan semua. Kita tidak akan dapat nilai untuk tugas disini. Namun, ada value yang akan kita pelajari sama-sama. Kalian bebas memilih," aku membuka kebisuan. Beberapa yang lain ikut bersuara. Dan keputusan Perempuan itu sudah bulat. Tak bisa ditawar.

Aku berfikir, nilai perempuan itu luntur hingga ke serpihan debu dan diterbangkan angin, ketika kalimat "anjing" itu keluar. Aku tak bisa menerima itu. Sampah akan selalu menjadi sampah. Ketika kami yang belajar kemudian tak diajari, melakukan kesalahan dia dimana? Bukankah kami membayar untuk diajari supaya menjadi pintar. Kalau cuma nilai, tak perlu mahal-mahal membayar, bukan.

Nilai seseorang, akan terlihat jelas pada saat dia marah. Dan kau, membuktikan bahwa kau itu, tak ada artinya apa-apa buat aku. Aku masih menang.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny