Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu, bahwa hidupku tidak seperti apa yang engkau lihat sehari-hari. Aku membungkus semuanya dengan rapi, sehingga kerut-kerut kahidupan tersembunyi dengan baik. Tanpa cela. Dan itu, berhasil menipu semua orang, bukan?
Kereta api lokal Jakarta-Purwakarta yang akan Aku naiki belum lagi datang. Stasiun hari itu penuh sesak dengan calon penumpang. Aku duduk ditepian kursi panjang ditengah peron. Memasang headset dan memutar lagu dari spotify seperti biasa. Menatap lalu-lalang orang yang hilir mudik mencari tempat duduk atau menyapa rekan dan kenalannya.
Bapak tua pedagang jam, yang biasanya duduk di tangga dekat peron sebalah ujung, belum lagi muncul. Apakah dia hari ini tidak datang? Sakit kah? Atau mungkin dagangannya, yang dibeli dua hari lalu masih tersisa, jadi tak perlu belanja lagi? Dan Ibu penjual baju muslim yang bersuara keras sekali juga belum nampak.
Aku yang bolak-balik satu kereta dengan mereka, hafal betul jadwal mereka belanja. Namun hari ini, kedua orang itu belum muncul.
" Permisi, Mas. Boleh geser sedikit," suara seorang lelaki menyela lamunanku. Aku mendongak. Reflek memandang wajahnya yang menyunggingkan senyuman, dan menggeser dudukku. Tentara, pikirku. Tanpa suara. Hanya membalas senyumnya saja. " Kemana?" tanyanya, setelah duduk disebelahku. Posturnya pasti lebih tinggi, hingga kepalaku hanya sampai dipunggungnya saja.
" Karawang, Pak!" jawabku singkat.
" Pulang kampung?"
" Bukan. Saya kerja disana "
" Biasanya orang Karawang yang kerja di Jakarta. Lah ini, kebalikan," katanya berusaha memancing percakapan.
" Iya," kataku singkat. Kemudian tertawa kecil.
Lelaki itu terdiam sesaat. Kemudian mengeluarkan botol minum dari tas ranselnya. Tas yang biasanya dipakai oleh anggota TNI. Tas dengan model tactikal itu, masih kelihatan baru. Bunyi resletingnya terdengar sedikit diantara bising suara stasiun. Aku memperhatikan. Ia mengeluarkan permen. Menawarkannya satu kepadaku. Aku menolak. Bukankah, sering banyak kejahatan terjadi ditempat umum bermula dari makanan? Seingatku demikian. Entah diberi air minum, permen, atau makanan lain. Hipnotis di Jakarta ini, memang jadi hal yang nampak dan tidak nampak. Nampak, karena sering terdengar korban yang melapor. Tidak nampak, karena pelakunya seringkali tidak bisa dideteksi. Hilang bersama barang hasil kerjanya.
" Takut dijahatin? Hipnotis? " tanyanya, seperti tahu apa yang ada dipikiranku.
" Ah, enggak pak. Hanya lagi sariawan," aku membuat alasan. Dia tertawa. Mungkin, alasan demikian sudah seringkali didengar katika dia menawarkan kepada yang lain.
" Ya ya ya. Tidak apa. Waspada itu penting," lanjutnya.
Aku menjadi serba salah. " Maaf, Pak. Jangan tersinggung," balasku. " Oh, tidak. Sama sekali saya tidak tersinggung. Itu wajar saja, dan saya bisa terima. Bagus malah. Jadi mengingatkan saya juga untuk berhati-hati dengan orang lain," katanya. Aku menjadi semakin kikuk dibuatnya.
Suara pengumuman dari pengeras stasiun terdengar nyaring ditelinga. Suara laki-laki yang aku hafal betul. Logat, intonasi dan volumenya. Mengabarkan bahwa kereta yang akan kami naiki akan segera sampai. Aku merapikan headset kembali kedalam tas. Lelaki tua penjual jam belum lagi nampak. Tapi ibu penjual baju itu, sudah berkumpul dengan ibu-ibu lain sesama pedagang. Mengangkat belanjaanya dalam kantong plastik besar ketengah. Dia akan naik di gerbong ketiga atau keempat, dalam perkiraanku. Ketika lokomotif sudah memasuki area stasiun, aku bangkit. Demikian juga lelaki disebalahku. Nampaknya, hanya kami yang tidak tergesa-gesa menunggu dipinggir rel. Buatku, bisa masuk dan dapat duduk dimana saja, itu tak masalah. Atau harus berdiri selama satu setengah jam ke tujuanpun, tidak menjadi persoalan. Aku menuju pinggir rel, mengincar gerbong pertama.
Gerbong kesatu kereta sudah separuh terisi. Aku duduk didekat jendela dalam posisi mundur. Menyandarkan punggung, dan menaruh tasku dipangkuan. Membiarkan satu kursi disebalahku kosong. Naik kereta api lokal memang perlu usaha keras. Berdesakan dengan para pedagang dan barang belanjaannya yang memenuhi koridor, anak-anak kecil yang menangis karena panas, ruang kereta memang berpendingin seadaanya, atau orang-orang yang sudah memesan tempat duduk kepada temannya, yang entah naik dimana.
" Kosong?" suara itu kembali terdengar. Lelaki itu lagi. " Iya, Pak. Silahkan." jawabku singkat. Dia meletakkan tas pundaknya di rak atas, kemudian duduk. Menarik nafas panjang. Tanggannya membuka botol air mineral yang dipegangnya kemudian meneguk minumannya berberapa kali. " Haus," katanya seperti menjawab sebuah pertanyaan. Apa pandanganku seperti bertanya? Rasanya tidak. " Iya, Pak," kataku kemudian.
" Kerja apa, di Karawang," tanyanya kemudian.
" Saya kerja di ....." jawabku. Kemudian obrolan kami menjadi lebih cair. Dia menceritakan tentang kehidupannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Dan dugaanku, bahwa dia seorang anggota angkatan bersenjata, ternyata benar. Pangkatnya Letnan Kolonel dari Angkatan Darat. Entah mengapa, seorang perwira menengah seperti dia, mau desak-desakan naik kendaraan rakyat seperti ini. Apa tunjangan kendaraannya tidak ada? Aku tidak terlalu paham dengan jabatan dan fasilitas di dunia militer.
Letkol Iman. Dia memperkenalkan namanya demikian. " Anak saya, sudah menikah. Hanya satu. Sekarang tinggal di luar negeri. Di Autralia. Dia tidak mau masuk militer. Cukup saya saja, katanya," Aku mendengar getir disuaranya. Seperti ada hal berat yang disembunyikan. Namun, sepanjang perjalanan dan mendengar ceritanya, Letkol Iman tidak pernah menampakkan muka bersedih. Dia nampak tersenyum, sesekali tertawa lepas. Seperti tak peduli dengan sekelilingnya. Mengunyah permen lagi. Kemudian bercerita lagi. Minum lagi, kemudian bercerita lagi. Dari mulutnya, seperti tidak perah habis kata-kata untuk dikeluarkan. Aku yang biasanya membaca buku, atau tidur dalam perjalanan, hari ini mendengarkan banyak sekali cerita. Seperti peluru yang ditembakkan terus menerus. Seperti kegundahan yang sudah lama sekali terpendam.
" Istri saya sudah meninggal ..... " suaranya tercekat. Lalu dia minum lagi. Menghabiskan air mineral yang tersisa dibotolnya. " Maksud saya, meninggalkan saya. Bukan meninggal dunia," lanjutnya.
" Hmm.. maksudnya, Pak? Meninggalkan bagaimana?"
" Ya meninggalkan. Pergi. Ya, begitulah. Kamu pasti tahu maksud saya," jelasnya. Bukan bersedih, dia malah tertawa.
" Bapak nggak sedih?" Aduh! Bodoh benar pertanyaan ku itu.
" Sedih? Hahaha," Dia tertawa terbahak. Keras betul. " Sedih saya sudah habis. Semuanya sudah saya buang di hutan-hutan Kalimantan. Dan di puncak gunung es di Himalaya sana," katanya.
" Tapi, .... saya masih belum mengerti, pak. Kenapa?"
" Yang terpenting bukan "kenapa". Yang terpenting adalah, bagaimana. Iya kan?" aku makin bingung. Filosopi apa yang dimiliki orang-orang militer ini. Dia tertawa kembali. Seperti tahu apa yang aku pikirkan. " Bagaimana dia pergi meninggalkan kami, saya dan anak saya, itu yang penting, kan?" tukasnya.
Dan begitulah. Lekol Iman, harus hidup sendirian di Purwakarta setelah istrinya pergi meninggalkan dia dan anaknya. Kala itu, anaknya baru berusia lima tahun. Dia masih bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Dalam ganasnya hutan rimba di Borneo, dia menaruh harapan sebesar-besarnya kepada anak dan istrinya. Namun, dua tehun kemudian, ketika dia pulang, dia mendapati anak semata wayangnya dititipkan pada saudaranya. Istrinya, pergi. Meninggalkan anaknya diurus oleh orang lain. Hatinya hancur. Dia terus mencari tahu kemana istrinya pergi. Begitu beratkah menjalani hubungan jarak jauh, entahlah. Tiga tahun lebih dia mencari tahu kemana istrinya. Namun tidak ada satu suarapun yang menyampaikan berita kepadanya. Tidak saudara-saudaranya juga. Dia seperti hilang ditelan bumi. Dia tidak pernah berhenti mencari. Hingga beberapa tahun kemudian, dia mendapatkan berita bahwa istrinya menikah dengan seorang pria dan pindah ke Paris. Hanya itu. Dan dia tak pernah lagi mencari tahu.
Kereta berhenti di stasiun Karawang. Aku bergegas turun. " Saya duluan, Pak," pamitku. Dia menjabat tanganku. Berterima kasih karena sudah mendengarkan ceritanya. Aku, masih sempat melambaikan tangan ketika kereta itu, kemudian membawa dia dan sisa penumpang lain, menuju pemberhentiannya.
Ditepian Jakarta, ada banyak cerita yang harus kita dengar. Ada banyak kerutan-kerutan luka yang tidak pernah terungkap. Ditepian Jakarta, mereka menunggu untuk bercerita. Maka, ceritakanlah semuanya. (bmkr/1119)
Comments
Post a Comment