Skip to main content

Perjalanan 3 : Yang Tidak Pernah Pulang

Kunang-kunang berpendar untuk mengisyaratkan bahaya. Api unggun yang kami bakar juga demikian. Lalu, apakah kami sedang dalam bahaya?

" Kamu dari mana?" dia bertanya dalam hembus nafas dan asap rokok yang sesaat hilang ditelan gelap. Gemeretak kayu terbakar dan percikan bara terbang, dihembus angin malam yang kian dingin. 
" Jakarta. " hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. " Kamu?" 
" Dari keluarga tidak baik!" kemudian tertawa terbahak-bahak. Sial betul. Pertanyaanku dijawab dengan main-main. Aku saja sudah memberi jawaban yang jurur. Batinku meruntuk. Namun, aku juga tertawa, tidak karena lucu. Mungkin kesal, tepatnya. " Jangan terlalu serius lah. Santai aja," lanjutnya. 

Suara burung hantu itu kembali terdengar dikejauhan. Kali ini, nadanya seperti lagu yang sedih. Kami diam. Mendengarkan. Atau mungkin mencoba menterjemahkan, apa yang dia ucapkan dalam suaranya yang lirih itu. Apakah itu lagi kesedihan? Kesendirian? Atau ternyata adalah nyanyian syukur karena masih bertahan dari ganasnya tangan-tangan manusia. Tangan-tanggan pemburu yang dengan rakus merenggut anak, teman-teman dan keluarganya. 

Seperti, Dia yang merenggut segala mimpi yang sudah ku bangun bertahun-tahun!

" Kok ngelamun? " suaranya memecah kesunyian, " inget pacar yah? Atau istri? " imbuhnya.
Aku menoleh. Cuek. Menuangkan sisa air panas yang sudah tidak panas lagi kedalam gelas kopiku. Kemudian menyesali kebodohan karena itu tidak akan menjadikan kopi itu layak untuk diminum. Terpaksa ku nyalakan kompor lagi dan menuang semua isi gelasku untuk kurebus sekalian. Dia tertawa keras.

" Jangan ngeledek! Nanti saya habiskan semua ini kopi," kataku ikut tertawa. " Selamat kembung lah kalau begitu!" tawanya kembali pecah.

" Setelah hutan pinus ini, ada apa dibalik bukit itu, Kang?" aku menyelidik.
" Banyak!" jawabnya cepat, " ada pemukiman, pesawahan, hutan bambu, ladang, hutan karet, dan masih banyak lagi. Tapi untuk sampai kesana, masih ada perjalanan setengah hari kalau tidak hujan. Kalau hujan dan kabut, kira-kira bisa seharian perjalanan. Kamu mau kesana?" tanyanya.
" Kedengaranya menyenangkan. Saya ingin sekali melihat hutan bambu," jawabku.
" Ah, apa istimewanya hutan itu? Semua hanya ada bambu. Ular dan gerah. Buat saya itu tidak terlalu menyenangkan untuk didatangi. Tapi disana ada telaga indah. Indah sekali. Selepas sungai, ada jembatan bambu yang dibangun penduduk sekitar menuju sebuah telaga. Airnya bening dan dingin. Konon, penduduk sering melihat bidadari mandi kemudian kembali ke khayangan dari sana," ujarnya.
" Akang percaya? Kedengarannya seperti cerita buku-buku saja. Dongeng pengantar tidur, " sanggahku.
" Ya terserah, sih. Percaya atau tidak. Saya juga belum pernah melihat bidadarinya. Kecuali gadis-gadis desa yang mengambil air dan mandi disana. Barangkali itulah bidadari yang dimaksud penduduk!" dia kembali tertawa lepas.  Kami tertawa.

Api unggun masih menjilat-jilat. Lelaki itu menambahkan kayu bakar diatasnya. Sontak bara api beterbangan kesana-kemari, sesaat setelah kayu itu jatuh kedalam api. Dia menata beberapa ranting kecil dan membiarkannya terbakar lebih dahulu. Dari gerak tubuhnya, aku mengerti bahwa dia bukan orang yang baru kali ini saja melakukan itu. Sepengetahuanku. membuat api unggun itu susah-susah gampang. Seringkali, aku terlalu percaya diri dan api ku tidak pernah menyala dalam waktu yang lama.

" Akang tidak membawa peralatan berkemah?" tanyaku memecah kesunyian.
" Bawa," katanya mantap, " kamu sudah ngantuk? Saya pergi sekarang kalo begitu," lanjutnya.
" Eh, bukan begitu! Saya hanya heran, ditengah hutan gini, Akang berkeliaran malam-malam tanpa bawa peralatan, kan tidak umum," jawabku.
" Saya sudah mendirikan tenda dibawah. Sebelum jembatan, " katanya.
" Bisa mendirikan tenda, disana? "
" Bisa!"
Aku manggut-manggut.
" Hanya tidak bisa senyaman ini. Lerengnya miring. Tidak cocok untuk tenda seperti punya mu ini," terangnya. " Disana juga tidak bisa masak-masak atau membuat kopi," lanjutnya.
" Lalu kenapa berkemah disana?" tanyaku.
" Terpaksa!" jawabnya. 
" Terpaksa gimana? Kan bisa pindah kesini!" 
" Ya, terpaksa. Sudahlah. Lagian, saya sudah disana beberapa minggu. Hanya, belum sempat saja untuk naik keatas lagi," katanya.
Aku melonggo. Apa saja yang dikerjakan oleh orang ini beberapa minggu, sampai tidak ada masa untuk kembali ke permukaan. Ke tempat yang lebih nyaman untuk berkemah. Mengapa harus di bawah sana. " Saya tidak pernah pulang, sejak hari itu," katanya kemudian.

Udara menjadi semakin dingin. Kunang-kunang masih sesekali terlihat melintas diatas tenda. Aku mencium bau yang sangat kuat. Bunga!






Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny