Skip to main content

Perjalanan 4: Misteri Hutan Bambu

Tuhan tidak pernah benar-benar meninggalkan kita, bukan? Dalam setiap kesulitan yang kita hadapi, Dia berperan sangat besar. Menambahkan kekuatan melalui doa-doa yang kita panjatkan. Melalui petuah-petuah yang tersurat dan tersirat. Demikianlah Ia menggerakkan setiap unsur dalam dunia ini.

Lelaki yang ku panggil dengan Akang itu, menyeruput kopi dalam gelas enamel sekali lagi. Tatapannya seketika menjadi begitu teduh. Tidak. Ini bukan teduh seperti seorang bapak kepada anaknya. Tidak seperti seorang Ibu kepada putra putrinya. Tatapan itu, seperti dingin. Yah. Aku yakin sekali itu adalah tatapan nanar yang dingin. Dalam keremangan api unggun yang menjilat-jilat udara disekitar, cahaya mata itu menembus tajam. Membelah gelap.

"Akang belum ngantuk?" 
Aku membuka obrolan. Menyadari kesunyian diantara kami berdua semakin lama semakin dalam. Aroma bunga yang tadi ku cium, timbul tenggelam dipermainkan angin.Tak begitu jelas, bunga apa yang begitu semerbak ditengah hutan begini.

"Belum!" jawabnya singkat, "Tapi kalau kamu mau tidur, silahkan saja. Saya akan berjaga disini,"lanjutnya.
"Tidak perlu. Saya akan tidur, dengan kepala keluar. Jadi kita masih tetap bisa ngobrol. Lagi pula, tidak ada hal penting yang saya lakukan besok pagi," jawabku.
"Ya, terserah saja. Yang penting saya tidak memaksa." timpalnya.

Aku merangkak ke dalam tenda. Mengeluarkan sleeping bag yang masih ku simpan dalam ransel besar milikku.Warnanya merah. Aku membelinya beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali mulai mencoba mendaki gunung. Kantung tidur yang selalu menemaniku kemana saja aku pergi. Masuk ke hutan, naik gunung atau bahkan ketika aku tidur di kost. Kantung tidur ini selalu jadi kawan terbaik. 

Diatas matras yang telah lebih dahulu aku bentangkan dalam tenda, separuh badanku ku selonjorkan ke arah dalam. Kepalaku kubiarkan menjulur keluar. Menyakisakan teman bicaraku menambahkan beberapa ranting ke dalam api unggun. Membolak balik bara yang menyala dibawahnya, terkadang meniupnya pelan. Menjaga api itu tetap menyala. 

Lelaki itu duduk dimuka tenda. Menyalakan rokoknya, kemudian menoleh ke arahku yang terbaring dibelakangnya, seraya tersenyum dan berkata, "Tidurlah. Besok perjalanan akan panjang. Kamu masih mau menjelajah hutan bambu itu, bukan?" katanya.

"Akang tidak ikut ke atas?" tanyaku.
"Untuk apa? Saya udah pernah kesana. Bosan!" jawabnya sambil terkekeh.
Sombong betul orang ini, pikirku. Namun aku tertawa kecil demi menghargai usahanya melucu. Meskipun dalam hatiku, itu tidak lucu. "Sombong! Apa buktinya kalau sudah pernah kesana?" tanyaku.
"Kan saya sudah pernah bilang. Didalam sana, ada telaga yang indah. Ada ular dan udara yang gerah. Berhati-hatilah berjalan dijembatan bambu. Sungai dibawahnya penuh dengan kutukan. Kalau sampai terpeleset dan kecebur, kamu nggak akan bisa balik selamanya. Jadi teman biawak-biawak dan buaya di sungai." ujarnya dengan nada lucu. Kemudian tertawa.
"Mana ada biawak dihutan begini," aku menyela. "Ngarang aja," timpalku lagi.
"Ya sudah kalau tidak percaya," jawabnya sambil kembali tertawa. 
"Udah ah, saya tidur duluan yah. Sudah ngantuk sekali rasanya." 
"Baiklah," jawabnya singkat.

Aku memejamkan mata perlahan. Udara dingin yang menusuk pelan-pelan menembus kantung tidur yang aku kenakan. Api unggun masih menyala. Gemeretak suara ranting terbakar kian jelas, seiring perbincangan kami yang terhenti. Dikejauhan, aku mendengar samar-samar suara burung hantu dan hewan malam lain. Saling bersahutan. 

Sesaat, diantara tidur dan tidak, aku mendengar lirih suara. Entah ditelingaku. Atau tepat dalam pikiranku. Entah mimpi atau nyata.

"Kamu, mungkin tidak akan bertemu saya lagi. Tapi apa-apa yang kamu perlukan, sudah saya sampaikan. Teruslah berjalan ke barat. Matahari akan menjadi petunjukmu untuk bertemu dengan kehidupan. Tapi, jika tidak terlalu terburu-buru, turunlah sebentar. Lewati jembatan. Mungkin akan ada yang kamu perlukan untuk perjalanan pulang."

Aku tertidur pulas.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny