Skip to main content

Perjalanan 6: Danau Misterius

Danau kecil itu tersembunyi dalam rimbunnya hutan bambu. Batang-batang hijau dan berbuku-buku menjulur lurus ke angkasa. Menyerupai ribuan tombak yang menghunus ke langit. Beberapa saat, gesekan daun-daunnya menimbulkan suara mistis yang aneh. Aku mematung, merinding menatap hamparan air yang tenang nyaris tak bergerak.

Perjalananku, pada akhirnya membawa aku kesini. Ke sebuah telaga kecil yang berair sangat jernih dan tenang. Hampir tak ada riak sama sekali ketika aku sampai. Sore itu.

Setelah melewati hampir sehari penuh perjalanan, aku dapat menyaksikan apa yang Lelaki itu ceritakan. Gemerisik dedaunan bambu yang bergesekan satu sama lain, menghasilkan alunan irama yang misterius dan mistis. Sesekali, aku masih mendengar kicau beberapa burung di tajuk-tajuk bambu. Aku dikepung kesunyian di detik berikutnya.

Benar apa yang dikatankannya malam kemarin. Jembatan bambu yang dia ceritakan adalah hal yang paling menegangkan dalam perjalanan ku kesini. Aku tak bisa menerka berapa umur jembatan yang dibuat dari jalinan bambu-bambu itu. Ketika sampai diujungnya, aku ragu untuk terus melangkah. Membayangkan betapa rapuh ia dan akan dengan mudah hancur ketika ku injak. Sementara di sana, jauh di bawah bebatuan dari sungai kering tampak mengerikan. Jika tidak mati karena jatuh, orang pasti mati karena tidak ditemukan. Sungguh, bayangan itu menakutkanku setengah mati. Tapi, untuk berjalan mundur ke belakang dan kembali, bukan juga jadi solusi. Satu-satunya jalan, aku harus melintasinya. Pada sisi nya, sebatang bambu tua, membentang searah jembatan digunakan sebagai pegangan. Dalam pengamatanku, kondisinya tidak lebih baik.

Lantai bambu itu gemeretak sesaat aku menginjaknya untuk pertama kali. Batang-batang coklat kehitaman itu seperti menjerit. Aku berpegang pada sisi jembatan. Menahannya agar tidak terlalu bergoyang.

Selangkah demi selangkah. Pelan-pelan aku menapaki jembatan tua itu. Melawan rasa takut dan menyingkirkan pikiran buruk jika begini dan begitu. Hingga pada pijakan terakhir, aku melangkah lebar, meloncat tepatnya, menapak pada tanah diujung jembatan. Membanting carrier berat di pundak dan membaringkan tubuhku bersandar padanya. Siksaanku hari ini berakhir. Meski kemudian, setelah itu jalanan masih belum bersahabat. Entah kenapa, setelah semak-semak disini menjadi begitu lembab dan basah. Aku menoleh keatas dan mendapati tajuk-tajuk tinggi yang pepohonan membentung sinar matahari masuk. Pacet-pacet mulai berpesta melompat ke kaki-kakiku yang terbuka. Tiap kali aku berusaha melepaskan mereka, tiap itu pula yang lain akan tiba-tiba menempel di betis, paha lengan dan sekujur badan yang terbuka. Aku mempercepat langkah. Pasrah pada akhirnya mahluk-mahluk itu menyedot darah dari kulitku.

Di tepi danau aku mematung. Mataku menyisir tiap sudut memastikan kondisi dalam keadaan aman. Di tempat asing begini, aku selalu ekstra hati-hati. Alih-alih menikmatinya dengan nyaman, aku memilih untuk selalu waspada terhadap segala sesuatu.

" Wooyy... jangan bengong ajaa...!!! Kesini!! Ngopi....!!"

Suara itu sungguh mengagetkan. Suara laki-laki yang sangat akrab di telingaku. Mataku menyisir ke arah ia berasal. Nun jauh diseberang, aku mendapati seseorang dengan santainya duduk pada sebuah pohon tumbang di pinggir danau, mengangkat gelas ke arahku. Kakinya separuh masuk ke air. Aku tersenyum membalas lambaiannya.

"Cepetan!!.. Keburu dingin kopinya... " lanjutnya diikuti tawa panjang.
"Lewat sana!" dia menunjuk satu sisi danau. Mataku menuruti arah telunjuknya. Dan bergegas menyusul.

Bagaimana ia bisa tiba secepat itu?



image by https://www.ecopetit.cat/ecvi/iimTJio_bamboo-river-side-wallpaper-bamboo-tree-in-river/

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Photo

Start:      Nov 3, '08 03:00a End:      Nov 10, '08 Location:      photo Dear Jper's Ada kabar gembira nech...., Mister Roy Genggam yang photographer profesional dan penyayang ular itu akhirnya meluangkan waktunya untuk sharing ilmu photography dengan jpers . Siapa tahu setelah mengikuti kursus ini foto foto petualangan kita makin kinclong dan laku dipasarkan.. Adapun schedule kegiatannya sebagai berikut Tanggal : 08 November 2008 Waktu : 13.00 ~ 17.00 WIB Lokasi : Studio Roy Genggam Jalan Karyawan No. 12 Pondok Pinang Jaksel PIC : Boim Akar ( 021-95465096 ) 25 Jpers yang sudah terdaftar mohon untuk confirm kehadirannya segera ke Obie ( 0856-93208384 ), karena apabila berhalangan hadir akan diisi oleh Jpers yang lain ..... Boim =confirm Tante Nha = confirm Sigit A = confirm Kris Ibenk Rera Aji Timmy Gonjes Yuli Yani cowok Obie Bule lele Ira Faris Redi Ucit Andy Ray Andreas Tonny M

Perjalanan 7: Segelas Kopi di Danau Muram

Kesendirian menghadirkan ingatan-ingatan masa lalu yang suram. Bayangan tentang kegagalan, kecenderungan kekecewaan dan frustasi masa silam. Semua bergulir pelan, menyiksa batin yang berontak ingin melepaskan semuanya. Menunggu tangan-tangan kuat untuk mengangkat penderitaan yang berkarat itu. Yah.. kesendirian yang seharusnya menyenangkan, namun sering kali hanya pelarian. Angin sore dari hutan bambu berhembus pelan. Mengerakkan batang-batang berbuku saling bergesekan, menciptakan decit yang mengganggu pendengaran. Aku mempercepat langkah mengikuti arah yang ditunjukkan Lelaki itu. Meloncati beberapa akar dan tanah becek. Hingga kecerobohan membuat aku terjerembab ke tepi danau. Dari kejauhan, aku melihat Dia tertawa senang. "Senang sekali melihat orang menderita!" runtukku ketika sampai didekatnya. Dia makin tertawa dengan lepasnya. "Kopinya sudah habis. Kelamaan sih sampe sininya," ujarnya menggoda. "Ah, nyesel udah lari sampe nyungsep ga ada hasil. Kotor se

Lelaki – Pengelana dan Setangkai Lily

Pada dasarnya, hidup adalah pengarungan waktu yang berujung pada sebuah keputusan. Terus menerobos mencari persinggahan, kemudian memutuskan untu tinggal selamanya, atau mengembara terus, mencar sesuatu yang belum tentu ada. Kepuasan batin yang kemudian menjadi alasan, lama-lama seperti pembenaran dari sebuah ketidakjujuran hati, akan perlunya dermaga untuk melabuhkan bahtera tanpa nama itu. Seorang pengelana di neger ginseng, Korea, melintasi gunung bukit, mengarungi lautan, menempuh jalanan berkilo-kilo meter, sebagai seorang pelukis. Pada kedalaman hutan-hutan tidak berpenghuni, dia mendapati sejuta kecemerlangan kehidupan. Kesunyian menghadirkan syair-syair dalam bahasa cinta yang manis. Meski dia belum tau persis, apa makna dari mencintai itu sebenarnya. Namun, dia tak pernah berfikir untuk  berhenti mengembara. Sang pengelana itu, pada hari malam dan cuaca dingin, jauh dari kampung halamannya, singgah di warung seorang  janda beranak satu, yang mulai remaja. Sang Janda, meny