Danau kecil itu tersembunyi dalam rimbunnya hutan bambu. Batang-batang hijau dan berbuku-buku menjulur lurus ke angkasa. Menyerupai ribuan tombak yang menghunus ke langit. Beberapa saat, gesekan daun-daunnya menimbulkan suara mistis yang aneh. Aku mematung, merinding menatap hamparan air yang tenang nyaris tak bergerak.
Perjalananku, pada akhirnya membawa aku kesini. Ke sebuah telaga kecil yang berair sangat jernih dan tenang. Hampir tak ada riak sama sekali ketika aku sampai. Sore itu.
Setelah melewati hampir sehari penuh perjalanan, aku dapat menyaksikan apa yang Lelaki itu ceritakan. Gemerisik dedaunan bambu yang bergesekan satu sama lain, menghasilkan alunan irama yang misterius dan mistis. Sesekali, aku masih mendengar kicau beberapa burung di tajuk-tajuk bambu. Aku dikepung kesunyian di detik berikutnya.
Benar apa yang dikatankannya malam kemarin. Jembatan bambu yang dia ceritakan adalah hal yang paling menegangkan dalam perjalanan ku kesini. Aku tak bisa menerka berapa umur jembatan yang dibuat dari jalinan bambu-bambu itu. Ketika sampai diujungnya, aku ragu untuk terus melangkah. Membayangkan betapa rapuh ia dan akan dengan mudah hancur ketika ku injak. Sementara di sana, jauh di bawah bebatuan dari sungai kering tampak mengerikan. Jika tidak mati karena jatuh, orang pasti mati karena tidak ditemukan. Sungguh, bayangan itu menakutkanku setengah mati. Tapi, untuk berjalan mundur ke belakang dan kembali, bukan juga jadi solusi. Satu-satunya jalan, aku harus melintasinya. Pada sisi nya, sebatang bambu tua, membentang searah jembatan digunakan sebagai pegangan. Dalam pengamatanku, kondisinya tidak lebih baik.
Lantai bambu itu gemeretak sesaat aku menginjaknya untuk pertama kali. Batang-batang coklat kehitaman itu seperti menjerit. Aku berpegang pada sisi jembatan. Menahannya agar tidak terlalu bergoyang.
Selangkah demi selangkah. Pelan-pelan aku menapaki jembatan tua itu. Melawan rasa takut dan menyingkirkan pikiran buruk jika begini dan begitu. Hingga pada pijakan terakhir, aku melangkah lebar, meloncat tepatnya, menapak pada tanah diujung jembatan. Membanting carrier berat di pundak dan membaringkan tubuhku bersandar padanya. Siksaanku hari ini berakhir. Meski kemudian, setelah itu jalanan masih belum bersahabat. Entah kenapa, setelah semak-semak disini menjadi begitu lembab dan basah. Aku menoleh keatas dan mendapati tajuk-tajuk tinggi yang pepohonan membentung sinar matahari masuk. Pacet-pacet mulai berpesta melompat ke kaki-kakiku yang terbuka. Tiap kali aku berusaha melepaskan mereka, tiap itu pula yang lain akan tiba-tiba menempel di betis, paha lengan dan sekujur badan yang terbuka. Aku mempercepat langkah. Pasrah pada akhirnya mahluk-mahluk itu menyedot darah dari kulitku.
Di tepi danau aku mematung. Mataku menyisir tiap sudut memastikan kondisi dalam keadaan aman. Di tempat asing begini, aku selalu ekstra hati-hati. Alih-alih menikmatinya dengan nyaman, aku memilih untuk selalu waspada terhadap segala sesuatu.
" Wooyy... jangan bengong ajaa...!!! Kesini!! Ngopi....!!"
Suara itu sungguh mengagetkan. Suara laki-laki yang sangat akrab di telingaku. Mataku menyisir ke arah ia berasal. Nun jauh diseberang, aku mendapati seseorang dengan santainya duduk pada sebuah pohon tumbang di pinggir danau, mengangkat gelas ke arahku. Kakinya separuh masuk ke air. Aku tersenyum membalas lambaiannya.
"Cepetan!!.. Keburu dingin kopinya... " lanjutnya diikuti tawa panjang.
"Lewat sana!" dia menunjuk satu sisi danau. Mataku menuruti arah telunjuknya. Dan bergegas menyusul.
Bagaimana ia bisa tiba secepat itu?
image by https://www.ecopetit.cat/ecvi/iimTJio_bamboo-river-side-wallpaper-bamboo-tree-in-river/
Setelah melewati hampir sehari penuh perjalanan, aku dapat menyaksikan apa yang Lelaki itu ceritakan. Gemerisik dedaunan bambu yang bergesekan satu sama lain, menghasilkan alunan irama yang misterius dan mistis. Sesekali, aku masih mendengar kicau beberapa burung di tajuk-tajuk bambu. Aku dikepung kesunyian di detik berikutnya.
Benar apa yang dikatankannya malam kemarin. Jembatan bambu yang dia ceritakan adalah hal yang paling menegangkan dalam perjalanan ku kesini. Aku tak bisa menerka berapa umur jembatan yang dibuat dari jalinan bambu-bambu itu. Ketika sampai diujungnya, aku ragu untuk terus melangkah. Membayangkan betapa rapuh ia dan akan dengan mudah hancur ketika ku injak. Sementara di sana, jauh di bawah bebatuan dari sungai kering tampak mengerikan. Jika tidak mati karena jatuh, orang pasti mati karena tidak ditemukan. Sungguh, bayangan itu menakutkanku setengah mati. Tapi, untuk berjalan mundur ke belakang dan kembali, bukan juga jadi solusi. Satu-satunya jalan, aku harus melintasinya. Pada sisi nya, sebatang bambu tua, membentang searah jembatan digunakan sebagai pegangan. Dalam pengamatanku, kondisinya tidak lebih baik.
Lantai bambu itu gemeretak sesaat aku menginjaknya untuk pertama kali. Batang-batang coklat kehitaman itu seperti menjerit. Aku berpegang pada sisi jembatan. Menahannya agar tidak terlalu bergoyang.
Selangkah demi selangkah. Pelan-pelan aku menapaki jembatan tua itu. Melawan rasa takut dan menyingkirkan pikiran buruk jika begini dan begitu. Hingga pada pijakan terakhir, aku melangkah lebar, meloncat tepatnya, menapak pada tanah diujung jembatan. Membanting carrier berat di pundak dan membaringkan tubuhku bersandar padanya. Siksaanku hari ini berakhir. Meski kemudian, setelah itu jalanan masih belum bersahabat. Entah kenapa, setelah semak-semak disini menjadi begitu lembab dan basah. Aku menoleh keatas dan mendapati tajuk-tajuk tinggi yang pepohonan membentung sinar matahari masuk. Pacet-pacet mulai berpesta melompat ke kaki-kakiku yang terbuka. Tiap kali aku berusaha melepaskan mereka, tiap itu pula yang lain akan tiba-tiba menempel di betis, paha lengan dan sekujur badan yang terbuka. Aku mempercepat langkah. Pasrah pada akhirnya mahluk-mahluk itu menyedot darah dari kulitku.
Di tepi danau aku mematung. Mataku menyisir tiap sudut memastikan kondisi dalam keadaan aman. Di tempat asing begini, aku selalu ekstra hati-hati. Alih-alih menikmatinya dengan nyaman, aku memilih untuk selalu waspada terhadap segala sesuatu.
" Wooyy... jangan bengong ajaa...!!! Kesini!! Ngopi....!!"
Suara itu sungguh mengagetkan. Suara laki-laki yang sangat akrab di telingaku. Mataku menyisir ke arah ia berasal. Nun jauh diseberang, aku mendapati seseorang dengan santainya duduk pada sebuah pohon tumbang di pinggir danau, mengangkat gelas ke arahku. Kakinya separuh masuk ke air. Aku tersenyum membalas lambaiannya.
"Cepetan!!.. Keburu dingin kopinya... " lanjutnya diikuti tawa panjang.
"Lewat sana!" dia menunjuk satu sisi danau. Mataku menuruti arah telunjuknya. Dan bergegas menyusul.
Bagaimana ia bisa tiba secepat itu?
image by https://www.ecopetit.cat/ecvi/iimTJio_bamboo-river-side-wallpaper-bamboo-tree-in-river/
Comments
Post a Comment