G ugup, saya membaca surat itu berulang-ulang. Bayangan mengalir mondar-mandir pada peristiwa beberapa tahun lalu. Seakan masih berasa perih, bekas gores perdu-perdu ditangan. Seperti masih berasa sakit, lecet di jari kaki dan tumit karena sepatu yang basah dan kaus kaki lembab, masih terus di pakai. To: Seorang Kawan kawanmu@email.com Date: Mon, 09 Jan 2012 23:40:30 -0800 Subject: Re : Serpihan Kertas di Bebatuan Hallow Jagoan! Apa kabar kau? Meski saya tidak ingat betul peristiwa yang kau ceritakan pertama, tentang melarung tulisan-tulisan kita di sungai berbatu itu, tapi, saya sungguh tidak akan pernah lupa kepada peristiwa kebun karet dan jalan kereta tua. Malu betul rasanya, ketika itu. Saya menangis, dan kau ejek saja seperti mengejek seorang anak SD yang kalah berantem dari temannya memperebutkan mainan. Rasanya, perih kaki karena lecet masih terasa waktu saya baca email-mu. Dimana kau sekarang? Mengapa tidak perah ada kabar dari mu? Saya pikir kau sudah
T ernganga. Seakan tak percaya membaca surat elektronik pada layar komputerku. Meski tak terlalu ingat pertistiwa pertama, ketika saya melarungkan serpihan kertas-kertas kecil dalam deras air sungai penuh batuan, namun peristiwa kedua tak akan pernah saya lupa. Hari baru saja selesai hujan. Langit masih bermuram dengan warnanya yang kelabu. Daunan pohon karet yang basah, beraroma harum. Meneteskan sisa-sisa air hujan yang menempel padanya ke tenda kecil kami. Ini hari kelima perjalanan kami, setelah melintas sebuah bukit kapur yang panas dan terjal. Hutan karet ini, seperti tanpa ujung. Sore menjebak kami untuk singgah dan bermalam dalam dekap nya yang kelabu. Saya hampir menangis ketika itu. Tak seorang pun yang kami temui di dalam hutan karet peninggalan Kolonial Belanda ini. Kemana orang-orang yang bekerja sebagai penyadap getah. Jika pejalanan kami dimulai hari sabtu, berarti ini hari rabu. Dan seharusnya orang bekerja pada hari ini. Jalanan itu, penuh batu kapur dan belukar.